Senin, 02 Desember 2013

“Bahtera” yang menghibur


Penggarapan teater merupakan suatu proses menuangkan ide-ide kreatif ke dalam sebuah naskah dan di wujudkan dengan adegan-adegan pembentuk cerita yang akan di tampilkan di atas pentas dan di apresiasi oleh penonton. Ide kreatif yang di tuangkan oleh penggarap tentu sangat berbeda dengan ide yang dimiliki penggarap lainnya. Limpahan hasil pemikiran kreatif tersebut bisa terdapat dalam pola adegan, tata setting, tata lighting, tata busana maupun property yang di gunakan. Hal itu yang terlihat dalam pementasan naskah “bahtera” karya Darminta Soeryana di Teater arena Isi Padang Panjang, kamis (28/9).
          “Bahtera” sendiri adalah naskah yang di adaptasi dari naskah kereta kencana karya Eugene Eunesco. Pertunjukan yang di adakan jam delapan malam ini, sangat di apresiasi oleh penonton yang memadati gedung tersebut. Dari segi cerita, naskah “bahtera” ini tidak memiliki perbedaan dengan “kereta kencana”, menceritakan sepasang suami-istri yang telah berumur 200 tahun tapi belum juga di karuniai seorang anak dan sedang menunggu sebuah bahtera( kematian) menjemputnya.
          Setting panggung yang dihadirkan oleh penggarap sungguh “fenomenal”, dimana panggung di penuhi oleh puluhan boneka, ada yang di gantung dan ada yang berserakan di lantai. Di dalam panggung juga terdapat gantungan tempat tidur bayi, serta terdapat rafa’I ( alat musik yang berasal dari Aceh). Dalam garapan kali ini, sutradara memang sangat menonjolkan kebudayaan aceh.
          Pertunjukan yang berlangsung selama kurang lebih satu jam ini sangat menghibur penonton yang hadir. Hal itu terlihat dari tidak henti-hentinya mereka tertawa melihat tingkah kocak para aktor di atas pentas.  Dan setelah pementasan, mereka semua tidak henti-hentinya memberikan tepuk tangan yang meriah terhadap pertunjukan tersebut. Cerita yang diperankan oleh Hanafi dan Bunda leni, dari segi hiburan memang sangat bagus dan dari segi pesan yang di sampaikan juga tidak kalah bagusnya. Kritik-kritik pedas yang “disamarkan” dalam dialog seakan telah menjadi “bumbu” lain dari “enaknya” cerita.
          Tidak hanya penonton yang merasa puas terhadap pertunjukan, aktor yang memainkan adegan juga merasa sangat puas. Seperti yang di rasakan oleh hanafi. Meskipun pada awalnya merasa amat terbebani memerankan tokoh kakek yang berumur 200 tahun, tapi pada akhirnya juga merasa sangat senang dengan apresiasi yang diberikan oleh penonton yang hadir.
“ saya sangat senang sekali melihat banyakknya penonton yang hadir dan memberikan tepuk tangan yang banyak kepada saya, saya sangat terkejut ketika selesai pementasan melihat mereka tidak beranjak dari tempat duduk mereka.” Urai hanafi.
          Hanafi sendiri menceritakan, kalau proses latihan dari naskah ini kurang dari dua bulan. Hal itu yang membuat dia sedikit terbebani sebelum pementasan. Tapi setelah pementasan, dia langsung merasa sangat senang karena semuanya berjalan sesuai yang diharapkan. Tidak hanya penonton dan aktor yang puas dengan pementasan, sutradara juga terlihat puas dengan kinerja para aktornya. Hal itu terlihat dari tidak hentinya beliau tersenyum ketika pementasan berakhir.
          Meskipun pertunjukan “bahtera ini” terlihat sangat menghibur, tapi pepatah, “di dunia ini tidak ada yang sempurna” memang tidak bisa terelakkan. Meskipun penonton yang lain merasa kinerja aktor tidak ada “cacadnya”, seorang yang berkecimpung di dunia teater pasti merasakan kekurangannya. Memerankan tokoh yang berumur 200 tahun tentu sangatlah berat dan beresiko, factor konsistensi adalah masalah utama dari pemeran dalam naskah ini. Hanafi sering kali lepas kontrol terhadap peran yang ia bawakan, suara kakek-kakek yang telah coba ia hadirkan sejak awal terkadang menghilang dan menampilkan suara aslinya. Dan yang paling mencolok adalah ketika ia berdendang dan memukul rafa’I. Setali tiga uang, ternyata hanafi juga menyadari kesalahannya. Dia mengatakan kalau memerankan tokoh tersebut sangatlah berat, membuat pinggang sakit dan tentunya menghadirkan rasa capek. Selain karena baru pertama kali memerankan tokoh yang berumur 200 tahun, waktu proses latihan yang minim adalah penyebab lainnya.
          “Sudah jelas itu bukan konsep sutradara, sebenarnya itu kesalahan saya karena telah lepas control. Pembelaan yang saya ajukan: yang pertama saya harus berdendang dengan suara tua menyanyikan lirik aceh yang saya kurang pasif, yang kedua yaitu dimana saya harus membungkukkan badan sambil memukul rafa’I yang sangat berat dan itulah yang mebuat saya letih dimana keringat saya bercucuran dan pinggang saya terasa amat sakit ketika itu. Dan ketiga, proses latihan sangat minim yang hanya mempunyai waktu kurang dari 2 bulan, dan dalam waktu yang singkat itu ada juga kendala seperti aktor sakit sehingga latihan diliburkan selama kurang lebih dua minggu.” Dia menambahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar