Minggu, 25 Mei 2014

review buku DRAMATURGI SANDIWARA


Di minangkabau telah lama berkembang kesenian teater yang sering dipentaskan di kampung-kampung, yang biasa digunakan untuk mengisi acara pada hari-hari besar keagamaan seperti idul fitri ataupun hari-haru besar lainnya seperti HUT kemerdekaan.  Kesenian teater ini kalau diminangkabau disebut dengan istilah Sandiwara kampuang. Sandiwara kampuang tersebut banyak diminati oleh orang-orang hal itu terbukti dengan banyaknya jumlah penonton yang hadir ketika menyaksikan pegelaran teater tersebut.
Tanpa kita sadari, ternyata sandiwara memiliki andil yang sangat besar dalam perkembangan kesenian di minangkabau. Hal itu dapat dibuktikan dengan ikut sertanya masyarakat luas dalam menentukan pola artistic yang ada di dalam sandiwara kampuang.  Sandiwara sendiri dapat dikatakan sebagai kesenian populer melihat banyak peminat dari kesenian ini. Sebenarnya perkembangan sandiwara di minangkabau merupakan suatu yang menarik, mengingat di daerah ini telah berkembang randai yang merupakan teater tradisiional khas minangkabau. Dengan demikian perkembangan sandiwara sendiri menghadirkan kebingungan, bagaimana ia berkembang sendiri dan tidak ikut mengembangkan kesenian tradisional yang ada di minangkabau sendiri.
Istilah sandiwara sendiri berasal dari kata tonil atau yang dalam bahasa belanda berarti pengajaran terselebung atau tersembunyi. Dengan demikian bisa diambil kesimpulan bahwa penamaan sandiwara terdapat ikut campur tangan bangsa colonial. Pada awalnya sandiwara merupakan sebuah seni teater yang digagas oleh bumi puetra pra-indonesia untuk melawan budaya colonial, hal ini memungkinkan terjadinya peruabahan semangat pengajaran terselubung dalam sandiwara.
Sandiwara merupakan sebuah hybrid atau kawin silang dari teater tradisional dan teater modern, hal tersebut dapat kita buktikan dari sandiwara yang cenderung mementaskan lakon lisan dan tidak tertulis layaknya teater tradisional, sedangkan di sisi lain sandiwara memberikan pemisahan antara wilayah tontonan dan penontonnya dimana hal ini merupakan ciri khas dari sebuah teater modern. Ternyata gagasan-gagasan modern yang berkembang setelah masa colonial mendorong berbagai seni dramatic (teater) untuk menyikapi kondisi sosial yang baru yang dihasilkan dari proses modernisasi.
Teater rakyat ataupun drama poskolonial di indonesia yang telah menerima gesekan hibrida dari opera melayu dan tonil membuat kesenian seperti dianggap tidak serius sehingga tidak terlalu dikaji lebih jauh oleh para kritikus. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan kita kalau sandiwara sudah terpinggirkan dari budaya sumatera barat, padahal bisa saja dengan adanya sandiwara merupakan jawaban terhadap kesenian tradisional, Randai.
Hal tersebut tentu sangat ironi, mengingat sandiwara telah bereperan besar dalam perkembangan kesenian teater modern di sumatera barat. Lebih lanjut, sandiwara memiliki peran yang luas dalam perkembangan teater secara umum di minangkabau. Namun kesemua hal tersebut baru dugaan awal karena belum dilakukannya penelititan yang lebih jauh terhadap asumsi yang mengarah kepada peran sandiwara itu sendiri.
Disposisi estetika dalam konteks drama dan teater di dalam formula dramaturgi akan terefleksikan melalui sebuah pertunjukan teater. Atas mdasar hal tersebut, aktivitas menonton sebuah pertunjukan teater berarti proses menguraikan kode-kode yang dikodekan dalam pementasan tersebut. Dimana kode-kode yang dimaksud adalah ideologis atau kode budaya yang memungkinkan penonton untuk membaca nilai yang ada di dalam suatu pertunjukan teater. teori dramaturgi mengandalkan pola tertentu dalam membuat karya teater. Dengan demikian, logika terbalik dapat digunakan untuk membahas tentang suatu teater, dengan asumsi teoritis bahwa ciri-ciri khas dari kategori-kategori berbeda dari setiap penciptanya pula.
Atas dasar hal tersebutlah, sandiwara harus ditinjau latar belakang kemunculannya dalam sudut pandang kesejarahaannya untuk melihat analisis yang telah merekontruksi dramaturginya serta disposisi estetika penonntonnya. Dengan hal tersebut dapat kita ketahui bersama sejarah yang melatarbelakangi kemunculan sandiwara di masyarakat minangkabau Sumatera barat. Perkembangan teater di indonesia melalui tahap-tahap. Dimana perkembangan teater di Indonesia sendiri dipengaruhi oleh budaya india, Timur tengah, dan baratnya terlihat sangat dominan. Pengaruh kebudayaan india dapat kita lihat dari teater tradisional yang memainkan nilai-nilai spiritual yang masih digunakan sampai saat ini. Pengaruh kebudayaan timur tengah dapat kita saksikan dengan kemunculan teater bangsawan, dimana pengaruh utamanya terletak pada bagian ceritanya. Sedangkan pengaruh kebudayaan barat dapat dilihat dari pengenalan teks tertulis, panggung proscenium dan lain-lain.
 Teori diatas dapat membantu pengenalan tentang gejala sandiwara, pengaruh kebudayaan india dan barat dapat kita lihat bersamaan dalam proses pemberian nama, yaitu kata sandiwara di dalam sandiwara itu sendiri. Kata sandiwara sendiri berasal dari bahasa sanskerta yakni kata sandi yang berarti lambang dan wara yang artinya pengajaran. Sehingga sandiwara sendiri mewrupakan pengajaran lewat perlambang. Namun teori diatas juga belum terbukti kebenarannya karena menghadirkan kesan jika bangsa indonesia menerima setiap kebudayaan yang datang, padahal dari pergantian dari istilah tonil menuju sandiwara mengindikasikan adanya perlawanan budaya dari bangsa indonesia terhadap bangsa asing. Dan juga teori tersebut juga tidak menjelaskan, apakah kebudayaan baru yang datang ke indonesia menghilangkan yang lama, padahal hal tersebut memungkinkan di indonesia untuk terjadinya keberagaman respons atas kedatangan kebudayaan-kebudayaan baru tersebut. Oleh karena hal di atas, diperlukanlah teori yang bisa mengupas lebih dalam tentang sandiwara tersebut. Mengingat teori tersbut belum dilengkapi teori yang dapat membantu melihat respon masyarakat indonesia terhadapa kedatangan teater dan dramaturginya.
Perkembangan seni dramatic di sumatera barat pertama kali dicatat oleh van kerckoff yang menyinyalir kalau kedatangan tonil melayu di sumatera barat berasal dari riau. Tonil melayu yang berkembang di Padang sebagai bentuk respon dari kedatangan atau kemunculan wayang tjina di singapura dan komedi parsi di Malaysia. Dari keterangan vam kerckoff tersebut bisa disimpulkan bahwa tonil melayu mungkin sangat digemari oileh masyarakat padang karena faktor bahasa melayu yang sangat mirip dengan bahasa minangkabau. Selain itu, gejala tonil melayu adalah implikasi dari tumbuhnya kota-kota di nusantara dan padang adalah kota terbesar di pesisir pantai sumatera barat waktu. Dari padang, tonil melayu cepat tersebar ke daerah lain si Simbar seperti padang pariaman, padang panjang, bukittingi, payakumbuh dan daerah sekitarnya.
Senada dengan van kerckoff, Rusli amran juga mengatakan kalau pada abad 20 telah muncul gedung-gedung pertunjukan di padang anatara lain gedung komidi. Di gedung tersebut datang beberapa rombongan stambul yang ternama pada zamannya. kedatangan rombongan stambul tersebut membuat permainan stambul menjadi sangat populer di padang sehingga dimana-mana orang berlomba-lomba membuat kelompok stambulnya sendiri-sendiri. Terdapat pula indikasi bahwa petinggi belanda memberi dukungan terhadap hal tersebut.
Dari keterangan di atas dapat digunakan untuk memahami kemunculan sebuah rombongan pertunjukan di padang yang bernama padangsche opera. Kelompok ini banyak memainkan lakon-lakon yang sangat populer pada masa itu bahkan sampai saat ini seperti lakon siti nurbaia dan laras simawang. Mattew Isaac coheen menandaskan bahwa mementaskan lakon-lakon adaptasi dari novel-novel terkenal sezaman terutama yang ditulis oleh orang minangkabau merupakan sumbangan besar dari kelompok padangsche opera.
Berdasarkan uraian di atas menunjukkkan kalau di sumaetera barat pada abad 19-20 telah berkembang opera melayu. Dan yang menarik dari hal tersbut adalah kemungkinan randai yang berdialog seperti sekarang mulai berkembang.  Perkembangan kesenian randai seperti yang ada saat ini diyakini oleh para pengamat sebagai pergesekannya dengan rombongan bangsawan, terutama dalam hal seni perannya. Berkebalikan dengan randai, justru ada dua hal yang membedakan antara padangsche opera dengan opera melayu, yakni dialog yang diucapkan bukan dinyanyikan, dan juga bahasa yang digunakan adalah bahasa minangkabau bukan bahasa melayu. Dengan demikian, padangsche opera besar kemungkinan telah turut mempengaruhi transisi cara pengucapan dialog dari dinyanyikan menjadi diucapkan secara biasa.
Perkembangan seni pertunjukan dramatic di sumater barat selanjutnya juga dipengaruhi oleh tonil sekolah yang dikembangkan oleh colonial belanda. Hal itu terbukti dari beberapa dokumentasi dari PDIKM (pusat dokumentasi dan informasi kebudayaan minangkabau) menunjukkan bentuk pertunjukan tonil sekolah yang berkembang di sekolah raja (kweekschool) bukittingi (fort de kock). Dokumentasi tersebut dapat dihubungkan dengan sinyalemen AA. Navis bahwa pada tahun 1926 seorang guru dari belanda mengangkat cerita cindua mato ke dalam bentuk sandiwara dengan tokoh bundo kanduang ditampilkan sebagai ratu aristokratik.
Strategi kebudayaan colonial jepang yang berusaha melenyapkan berbagai anasir kebudayaan colonial dapat dilihat sebagai faktor sebagai berkembang luasnya istilah sandiwara dikemudian hari. Perkembangan seni dramatic sumatera barat pada zaman jepang ditandai dengan kemunculan kelompok  sandiwara ratoe asia yang menurut sejarahnya berdiri di padang panjang, dan telah memainkan banyak lakon-lakon pada masanya.
Kedatangan colonial jepang bersama propaganda kebudayaannya menjadi momentum kebangkitan sandiwara. Karena sebelum kedatangannya orang-orang tonil dan sandiwara telah beralih untuk meramaikan dunia film sehingga sandiwara di tinggalkan pada saat itu. Kemunculan kelompok ini juga menandai dan dapat disebut kelesuan dunia hiburan. Ada perbedaan tentang kemunculan kelompok ratu asia ini di dalam hubungannya dengan colonial jepang. Ada yang mengatakan untuk mengimbangi hegemoni kebudayaan jepang dan ada pula pendapat yang mengatakan bahwa kelompok ini merupakan strategi kebudayaan jepang.
Setelah proklamasi kelompok ini berubah menjadi kelompok sandiwara keliling yang mempropagandakan rakyat untuk menghadapi agresi militer belanda. Peran itu mereka wujudkan. Tampaknya sandiwara jenis ini telah berhasil membentuk dan meunculkan kelompok sandiwara lainnya di sumatera barat. Di tahun 1950 an, di sumatera barat berkembang dua jenis sandiwara yaitu sandiwara keliling dan sandiwara pelajar yang digelar disekolah-sekolah. selain hal itu ada juga berkembang pada masa itu sandiwara radio yang disiarkan melalui RRI. Meski tidak banyak yang dapat di catat dari gejala ini namu dapat kita lihat bahwa hal tersebut memunculkan indikasi penggunaan teknologi komunikasi massa dalam perkembangan sandiwara di sumatera barat.
Peristiwa PRRI ( pemerintahan revolusioner republic indonesia ) atau yang dikenal masyarakat local seabagai zaman peri-peri merupakan salah satu momentum besar masyarakat di minangkabau. Selama pergerakan zaman PRRI kesenian dan kebudayaan suamtera barat mengalami stagnasi akan tetapu pada zaman ini jugalah kesenian dan kebudayaan sumatera barat kembali meriah setelah pergerakan ini berekonsiliasi dengan pemerintahan republic indonesia.
Sandiwara hiburan yang bisa disebut organisasi perlawanan rakyat (OPR) bermunculan di sumatera barat. Dimana pada zaman ini kesenian sudah dijadikan sebagai sebuah media hiburan sekaligus media untuk melakukan sebuah propaganda. Semua orang yang memiliki jiwa seni dikumpulkan untuk menghiburkan rakyat yang baru saja melewati masa-masa sulit. Gejala pertunjukan seperti ini hanya berlangsung dalam waktu tiga tahun karena keadaan kesenian di sumatera barat berubah setelah dan seiring dengan berubahnya suasana politik. Sandiwara hiburan yang sebelumnya bergerak di bawah opr mulai bergabung ke arah sandiwara.
Sementara itu, sebagai dampak dari massa bergejolak di minangkabau juga menyebabkan eksodus besar-besaran masyarakat minang ke negeri rantau, sehingga di Jakarta berdiri satu komunitas yang menamakan dirinya badan kesenian alam minangkabau (BKAM) yang dengan gencar-gencarnya mempromosikan dan memainkan kesenian khas minangkabau di Jakarta.
Lingkungan adalah satu faktor yang menyebakan suatu kesenian berkembang. Seperti hal seni drama atau teater yang menjadikan lingkungan sebagai pokok sumber ide penggarapannya. Bukanlah hal yang mengejutkan jika karya-karya seni yang dianggap kurang berkualitas oleh beberapa kalangan, justru sangat digemari oleh masyrakat luas, hal ini menandakan kalau selera masyarakat kita yang masih amat rendah. Namun hal itu dapat dimengerti bahwa ketepatan karya terhadap fenomena yang terjadi dalam masyarakat tersebut yang melatarinya. Artinya setiap pertunjuka teater diandaikan selalu dilaksanakan dengan meletakkan kerangka sosial.
Masyarakat minangkabau membagi wilayah ke dalam beberapa bagian yaitu daerah luhak dan daerah rantau, di samping juga digambarkan sebagai daerah darek dan daerah pasisia. Pandangan terhadap alam ini secara langsung memberikan pandangan bahwa kesenian di minangkbau di pengaruhi oleh dua arus, yaitu kesenian rantau, terutama wilayah pasisia memperlihatkan pengaruh kebudayaan islam yang kuat. Sementara kesenian luhak memperlihatkan hubungannya yang amat erat dengan adaik (adat).
Dialektika antara dua sumber pengetahuan dan budaya masyrakat minangkabau menjadi tempat sandiwara hadir. Sandiwara umumnya diingat sebagai satu kesenian yang sangat digemari, disukai, pernah jaya, selalu ditunggu-tunggu dan digambarkan dengan berbagai ungkapan bernada optimisme. Meskipun sandiwara dalam beberapa hal dianggap suatu yang negative akan tetapi mayoritas penduduk sumater barat menganggapnya sebagai suatu yang positif .
Penggunaan kata sandiwara mempresentasikan pandangan minangkabau terhadap seni dramatic. Pada dasarnya sandiwara dimkanai tidak berbeda jauh makna yang diberikan oleh orang secara umum. Di dalam khazanah seni pertunjukan, apapun yang berhubungan dengan seni dramatic disebut sebagai sandiwara. Selain itu dalam kehidupan banyak sekali digunakan istilah sandiwara seperti istilah sandiwara politik, sandiwara elit, sandiwara hukum dan masih banyak istilah lainnya.
Dari banyaknya penggunaan istilah sandiwara di atas, dapat disimpulkan bahwa istilah sandiwara dalam masyarakat nusantara selain dipahami sebagai salah satu genre seni, juga dianggap sebagai salah satu bentuk sikap atau perbuatan dalam kehidupan sehari hari. Lebih jauh hal tersebut terefleksikan sebuah pandangan bahwa seni berperan yang menjadi subtansi utama sandiwara dipahami sebagai tindakan berpura-pura atau tindakan seolah-olah.
Sandiwara disebut sebagai seni berperan. Atas dasar seni peran itulah sebuah bentuk jenis pertunjukan dapat dikategorikan sebagai drama, yaitu seni yang mempertontonkan lakuan manusia. Adapun kata teater memiliki artian yang jauh lebih luas yaitu semua seni pertunjukan. Secara singkat teater dapat dikatakan sebagai seni pertunjukan drama atau pertunjukan seni lakon. Adapun istilah sandiwara minang muncul dari pengertian local bahwa selain memiliki unsur-unsur dramatic juga memiliki unsur hiburan seperti tari dan nyanyian. Namun imbuhan minang pada kata tersebut juga mengindikasikan kalau bahasa yang digunakan adalah bahasa minang. Padahal sandiwara tidak selalu menampilkan bahasa minang ketika melakukan pementasan, banyak informasi yang menunjukkan penggunaan bahasa melayu terutama untuk cerita yang dipandang modern.
Di minangkabau tidak mengenal yang namanya strata sosial semacam golongan ningrat dan rakyat jelata akan tetapi semua dianggap sama. Oleh karena itu kepemilikan kesenian juga dilakukan bersama seperti yang berlaku pada kesenian randai. Hampir seluruh rakyat minangkabau memiliki ikatan emosional yang kaut dengan randai, hal itu dikarenakan karena mereka menganggap kesenian ini sebagai kesenian yang khas yang dimiliki bersama oleh etni minangkabau.
Di minangkabau sandiwara sama populernya dengan kesenian randai dan tupai janjang. Namun terkadang randai dan tupai janjang dapat digelar untuk kepentingan komersil. Bedanya di dalam pegelaran randai atau tupai janjang tidak mengenal yang namanya sistem karcis, yang diketahui Cuma iuran sukarela penonton. Terdapat dua istilah yang digunakan oleh pemeran dalam pemeranannya yaitu penghayatan dan penjiwaan. Yang pada dasarnya kedua kata tersebut memiliki makna yang hampir serupa yaitu roh atau jiwa.
Dapat dipahami bahwa proses komunikasi antar tokoh drama di dalam sandiwara pada dasarnya berada dalam ruang lingkup komunikasi yang besar yaitu antara pelaku pementasan dengan penonton yang menyaksikannya. Masyarakat minangkabau mengenal langgam bahasa yang dianamakan kato nan ampek (kata yang empat )  yaitu kato mandaki, digunakan untuk berbicara kepada orang yang lebih tua. Kato manurun, digunakan untuk berbahasa kepada orang yang lebih muda. Kato malereng, digunakan untuk kepada orang yang sama besar tapi tidak terlalu akrab. Kato mandata digunakan untuk berbicara kepada teman yang sama besar.
Berdasarkan hal tersebut, setidaknya ada dua hal yang dijadikan tolak ukur bagi seorang pemeran untuk melakukan improvisasi, yaitu memberikan inti pembicaraan dan mengenali lawan bicara. Satu hal yang perlu mendapatkan perhatian berkenaan dengan pementasan sandiwara adalah cara skema formulaic bagi pemeranan digunakan untuk mengatasi pementasan sandiwara yang berlangsung beberapa malam dengan cerita yang berbeda.
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa aspek pemeranan menegaskan fungsi memori dalam dramaturgi sandiwara sebagaimana juga terlihat dalam ranah penulisan lakon dan penyutradaraannya. Bisa semua kita pahami bahwa kecendrungan praktik dalam sandiwara untuk memproduksi berbagai aspek pengalaman membuat kerja memori menjadi lebih signifikan. Memori sendiri didefinisikan sebagai varietas yang terdiri dari berbagai proses, struktur, dan sistem pengalaman dan peristiwa pada satu waktu mempengaruhi tingkah laku seseorang.
Mempertontonkan sebuah latihan sandiwara kepada masyarakat adalah satu tirk pelaku sandiwara untuk merebut simpati dari penonton, menghimpun rasa keingintahuan dan penasaran mereka dan akhirnya menjamin peristiwa pementasan menjadi peristiwa yang penting dan dinanti-nantikan. Artinya, mempertontonkan proses latihan pada dasarnya adalah merupakan sebuah upaya yang intensif untuk menggalang minat penonton.
Konsep penampilan biasanya digunakan juga oleh masyarakat penikmat seni untuk mewakilkan perasaannya, seperti “penampilannya kurang meyakinkan”. Hal itu menunjukkan bahwa terdapat konsep kelayakan yang biasa digunakan dalam kehidupan sosial kultural yang diterapkan pula dalam pementasan. Pada pementasan sandiwara, selain teks suara atau bunyi, teks tubuh, teks rupa ternyata juga ada teks lain yang tampil yaitu teks-teks yang umumnya dipandang sebagai suatu teks yang tidak artistic.
Para penonton dari sebuah sandiwara tetap menonton pementasan sandiwara meski semua yang akan dipentaskan telah mereka tonton melalui latihan karena beberapa hal, yaitu karena ingin menyaksikan tontonan (spectacle) yang sesungguhnya dengan kata lain ingin menyaksikan pertunjukan utuh dengan kostum dan dekor panggung yang sesungguhnya. Hal lainnya yaitu harapan untuk mendapatkan aspek kejutan( surprise) dari pementasan. Hal itu dapat diperoleh dari kreatifitas para pemeran yang mampu memproduksi kata-kata yang menarik bagi penonton. Lajut dari itu mereka juga dapat melakukan gerak-gerak yang menunjukkan kualitas keterampilan mereka sebagai seorang aktor.
Berdasarkan hal di atas dapatlah kita simpulkan bahwa aspek yang paling ingin diperhatikan oleh penonton dari menonton pertunjukan adalah yang berkenaan dengan pemeran, mereka akan cendrung lebih memperhatikan apa-apa yang dilakukan oleh para aktor di atas pentas dibandingkan dengan menyaksikan set atau dekor panggung itu sendiri. Kemampuan dan keterampilan si pemeran kemudia yang membuat ia mendapatkan sebagai predikat bintang  dari penonton sehingga dalam pengertian tertentu, pemeran dalam sandiwara lebih merupakan tokjoh yang ilmiah.
Simpati atas carito dapat dilihat sebagai bagian dari pengajaran yang dapat diambil dari sebuah cerita, salah satu konsep penting di balik pementasan sandiwara yang acapkali digarisbawahi oleh pelaku maupun penonton. Artinya, dengan menilai secara kritis pemeranan maupun cerito, penonton diharapkan belajar bersimpati dengan orang lain dan pada saat yang sama melakukan telaah agar peristiwa itu tidak terjadi atau terulang.
Konsep sandiwara seperti ini juga digunakan dalam lawak. Dimana di dalam lawak, hal yang menjadi lawakanny adalah hal-hal yang dekat dengan situasi penonton, artinya penonton di ajak untuk menelaah tentang hal-hal yang dekat dengan mereka. Artinya penonton di ajak untuk membuat analisis terhadap peran yang di bawakannya. Dengan kata lain, baik unsur cerito atau lawak dalam sandiwara bertujuan  untuk menyindir penonton sesuai konsep yang diyakini bersama. Sindiran itu dilakukan dengan perkataan orang yang membuat jarak seolah-olah semua yang terjadi adalah hal yang dilakukan oleh orang lain.
Drama poskolonial, pada dasarnya berarti sebagai drana yang terlahir setelah zaman pendudukan oleh bangsa colonial. Dengan demikian, drama seperti ini dapat didefinisikan melalui dua cara, yaitu pertama, seni-seni dramatic yang tumbuh dan berkembang setelah berakhirnya kolonialisme. Kedua adalah seni dramatic yang berurusan dengan efek berkelanjutan kolonialisme di daerah yang pernah dijadikan koloni yang kemudian bersinggungan pula dengan kolonialisme.
Hadirnya sandiwara di tenah masyrakat minangkabau seperti memberikan pengaruh  dan dapat dipandang sebagai suatu bentuk artistic yang baru dan menggeser kesenian yang ada sejak lama seperti randai. Namun sejarah seni dramatic di sumatera barat mengatakan kalau sandiwara bukanlah hal yang baru sama sekali, melainkan daur ulang dari seni dramatic yang ada pada masa colonial. Yang artinya bahwa sandiwara sebagai satu artistic yang diperbaharui  itu berakar dari gesekan masyarakat dengan zaman colonial di masa lalu.
Sandiwara dan teater merupakan perkembangan dari entitas yang sama, yaitu teater barat, yang dengan itu dapat dibedakan dengan pertunjuka-pertunjukan yang tradisional. Tampak pula bahwa penggunaan istilah tonil , sandiwara dan teater pada dasarnya menunjukkan perkembangan seni dramatic di indonesia secara diakronis. Terindikasi pula bahwa budaya sandiwara tumbuh dalam interaksi antara berbagai anasir seni dramatic dengan tujuan, pola dan gaya yang dipengaruhi oleh semangat zaman masing-masing. Oleh karena itulah, dalam beberapa segi, teori perkembangan istilah dalam seni seni dramatic di indonesia seperti sandiwara juga berlaku hukumnya. Namun perlu dicermati bahwa hal itu bukan sekedar perkembangan istilah, melainkan indikasi bahwa sandiwara merupakan bagian dari hibridasi, yaitu pembauran beberapa tradisi pementasan seni dramatic.
Berdasarkan hal tersebut, kelahiran sandiwara sebagai strategi artistic yang diperbaharui dalam masyarakat minangkabau menunjukkan beberapa hal sebagai latar belakangnya, yaitu pertama, sebagai respons atas kondisi sezaman, sandiwara adalah pantulan dari kesadaran akan adanya realitas kehidupan baru, yakni kehidupan modern. Realitas baru tersebut ditandai pula dengan hadirnya kehidupan bernegara yang merupakan konsekuensi logis dari poskolonialitas atau berakhirnya praktik kolonialisme, kedua kondisi sosial kultural yang baru itu membutuhkan sautu seni dramatic baru pula yang dapat mengakomodasikan semua kebutuhan masyarakat, yaitu hiburan, keberlanjutan tradisi, sekaligus pencerahan. Atas dasar itu, dipilihnya sandiwara sebagai seni dramatic yang kemudian dikembangkan bersama menjadi masuk akal. Bukan saja karena sandiwara sejak semula merupakan hibrida dan sinkretis, namun juga karena potensinya untuk menyerap berbagai anasir seni dramatic yang lebih baru. Atas dasarnya inilah kiranya sandiwara lahir dan berkembang menjadi teater rakyat dalam masyarakat minangkabau.
Penggunaan pentas dalam sandiwara dapat dikatakan vital karena menjadi pembeda antara kesenian ini tradisional minangkabau lainnya. Hal ini dapat dibaca dengan membandingkan sifat-sifat yang terdapat pada pentas sandiwara tersebut dengan kesenian tradisional lainnya. Hal ini dapat di baca dengan membandingkan sifat-sifat yang terdapat pada pentas sandiwara tersebut dengan dua tempat pertunjukan tradisional minangkabau, yaitu laga-laga dan pemedanan.
Meskpun kedua tempat tersebu terlihat berbeda secara fisikal akan tetapi terdapat sifat-sifat yang dapat dilihat sebagai gabungan antara keduanya. Pertama, laga-laga maupun pemedanan merupakan pentas arena yang pertunjukan ada di tengah tengah penonton. Dengan demikian penonton dapat dengan bebas melihat pertunjukan dan mencari sudut pandang yang disukai. Kedua, konsekuensi dari yang pertama, sifat tontonan menjadi akrab dengan penontonnya sehingga tidak ada jarak antara pertunjukan dan penonton, Cuma sebatas garis imajiner yang memisahkan keduanya.
Perbandingan dengan kedua tempat pertunjukan tradisional itu memperlihatkan bahwa pada tataran yang paling mendasar, kehadiran pentas dalam sandiwara telah memperkenalkan konvensi tontonan modern, yakni dunia tontonan dan dunia penontonnya dibedakan secara lugas. Kehadiran pentas dalam tradisi sandiwara dapat dilihat sebagai pengaruh utama dari tonil dan opera melayu. Sebagai implikasi dari perkenalan dengan pentas itu, sandiwara kemudia menjadi ruang pula untuk berkenalan dengan teknologi pentas yang bukan saja meniru hal-hal yang sebelumnya, namun juga memilih dari perangkat-perangkat yang ada kemudian. Hal itu, misalnya, jelas terlihat dengan digunakannya alat pengeras suara dan akhirnya perangkat band. Hal-hal terakhir ini tidak dapat dikatakan sebagai warisan opera melayu maupun tonil sehingga modernisasi dalam sandiwara tidak melulu dapat diartikan sebagai peniruan terhadap budaya colonial , namun juga memilih suatu kebudayaan yang baru.
Logika modern  dapat pula dibaca pada teknik –teknik pementasan sandiwara, misalnya tablo yang digunakan sebagai bagian dari perkenalan drama. Besar kemungkinan teknik ini merupakan transformasi dari sebuah bentuk pementasan dalam bentuk komedie stambul, semacam pertunjukan penutup yang menampilkan adegan-adegan statis oleh para artis.
Konvensi pementasan sandiwara yang dibagi menjadi babak dan selingan jelas merupakan sebuah indikasi dari dikenalnya disiplin pementasan. Hal itu dapat dikaitkan dengan ciri-ciri unikum teater barat dan teater timur . Modernitas dalam sandiwara dapat dilihat lebih jelas dari seghi bahasa, yakni dengan digunakannya bahasa nasional dalam beberapa cerita. Dengan demikian sandiwara menjadi transisi bagi seni pertunjukan tradisional minangkabau menuju bentuk yang lebih modern. Dari kesenian tradisi, sandiwara berubah menjadi kesenian yang politis tanpa kehilangan aspek-aspek tradisionalnya.  Konsep penampilan dalam sandiwara di satu sisi mendorong terjadi pemilahan unsur-unsur seni yang dipertunjukkan, disisi lain, memberi kemungkinan untuk terjadinya intesifikasi bagi para pasrtisipan sandiwara untuk lebih focus pada masing-masing unsur seni sesuai minat dan bakt masing-masing. Arti yang lebih jauhnya, konsep penampilan ini memberi kebebasan untuk memilih spesifikasi dan kompetensi yang dapat dipandang sebagai dasar profesionalitas dalam seni pementasan masyarakat minang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar