Minggu, 25 Mei 2014

REVIEW BUKU KRITIK dan MEDIASI SENI


Kritik adalah suatu kata yang sudah sangat sering kita dengar dan kita jumpai dimanapun. Kritik dapatlah kita sebut sebagai kriteria dari satu penilaian yang menggambarkan baik buruknya sesuatu hal. Kata kritik sendiri berasal dari bahasa inggris yaitu kritikos ataupun bahasa yunani krenein yang dapat kita artikan: memisahkan, membandingkan, mengamati atapun menimbang. Kata kritik sendiri sudah sangat lama digunakan oleh orang-orang pada masa lampau, hal tersebut dapat kita buktikan dengan istilah-istilah yang dipakai oleh orang yunani kuno (krites atau menghakimi).
            Sebuah kritik dapat digunakan sebagai media penyampai pesan atau gagasan kepada orang lain. khusus dalam bagian seni, kritik digunakan untuk mengevaluasi sebuah karya, menggambarkan baik atau kurang baiknya sebuah karya ataupun untuk menyampaikan kekurangan dan kelebihan dari suatu karya seni. Seiring dengan cepatnya perkembangan zaman, maka akan terjadinya pula pergeseran nilai yang mau tidak mau akan menimbulkan suatu permasalahan dari masyarakat penikmat seni hingga nantinya akan memberikan sebuah ide kepada seorang seniman untuk dapat menampilkan sebuah karya yang benar-benar disukai atau dinikmati oleh masyarakat pada saat ini. Dalam hal ini kritik akan membantu memberikan masukan kepada seniman pengkarya dengan memberitahukan mana yang disukai dan mana yang kurang disukai oleh penonton.
            Pada awalnya, kritik seni menjadi suatu hal yang diperdebatkan karena banyaknya aliran atau cara seorang kritikus mengkritik suatu karya sehingga lahir anggapan bahwa sebuah kritik seni kehilangan arah dan fungsinya. Karena hal tersebut, Osborne mengatakan bahwa kritik itu adalah kerancuan dan sebuah kesimpang siuran.  Seorang kritikus haruslah mampu memberikan penilaian terhadap sebuah karya seni yang dinilainya, baik berupa kejelekan maupun kebaikan seta membandingkannya dengan karya seni yang lain. Oleh karena hal tersebut, seorang kritikus haruslah memiliki pemahaman dan pengetahuan terhadap hal yang dikritiknya, sehingga dapat melahirkan suatu kejelasan terhadap evaluasi sebuah karya seni.
            Sebuah karya seni tidak bisa dipisahkan dari elemen pendukungnya seperti seniman dan penonton. Ketiga hal tersebut memiliki ikatan kuat yang tidak bisa dihilangkan salah satunya karena ketiga hal tersebutlah yan memungkinkan sebuah seni hidup di dalam masyarakat. Karya seni merupakan sebuah ide ataupun pertunjukan yang dibuat oleh seorang seniman yang tujuannya untuk dipertontonkan kepada masyarakat. Dengan demikian, masyarakat yang datang untuk menyaksikan pertunjukan tersebut (penonton) dapat menikmati pesan-pesan serta hiburan yang diberikan oleh sebuah karya seni. Penonton seni yang baik akan selalu haus dengan ragam pengalaman estetik yang dikupas secara mendalam dengan ikatan emosional yang ada di dalam sebuah karya.
            Di dalam sebuah kritik seni memiliki tipe dan struktur. Tipe kritik seni berupa:  kritik jurnalistik yang merupakan sebuah ulasan kritik yang di sampaikan kepada masyarakat melalui media massa khususnya surat kabar. Biasanya kritik ini menggambarkan sebuah karya seni berupa ulasan singkat yang dapat menjadi pengganti pengalaman visual bagi pembacanya. Kritik jurnalistik sangat mudah dicerna karena tidak berisi ulasan yang sistematis sehingga tidak membingungkan bagi pembaca awam. Kritik ini juga sangat cepat mempengaruhi pemikiran masyarakat, disebabkan oleh sifat media massa yang memang untuk mempengaruhi yang membacanya.
            Kritik ilmiah adalah sebuah ulasan terhadap suatu seni tertentu yang dibuat dengan susunan sistematis berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan. Oleh karena itu, tidaklah sembarangan orang bisa untuk membuat kritik ilmiah. Mereka yang mebuat sebuah kritik ilmiah haruslah orang-orang yang memang menguasai sistematika dan metode-metode dalam penulisan. Bahasa yang digunakan dalam kritik ilmiah haruslah bahasa yang tepat, jelas dan ringkas. Sehingga tidak menutup kemungkinan bagi pembaca untuk salah menafsirkannya. Kritik jenis ini menyajikan penafsiran yang bersumber dari ilmu pengetahuan maupun sebuah penelitian dan menghasilkan kebenaran yang tidak memihak. Kritik ilmiah menjangkau hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh kritik jurnalistik.
            Kritik populer adalah kritik yang hampir mirip dengan kritik jurnalistik, bedanya terletak pada ulasan yang disampaikan.  kritik jurnalistik menampilkan ulasan yang lebih dalam dan tajam, sedangkan kritik populer lebih bersifat umum yang berisi  pengenalan atau publikasi sebuah karya kepada pembacanya.
            Mendeskripsikan, menafsirkan dan menilai karya seni merupakan hal yang sangat penting dalam melihat sebuah karya seni. Karena dengan hal tersebutlah kita dapat menilai kualitas dari sebuah karya yang dipentaskan. Penulisan di media massa menggunakan sumber dari seni pertunjukan dan seni rupa yang ada di lingkungan kita. Seni pertunjukan berupa : karawitan, tari, teater dan musik. Karawitan adalah seni musik yang berupa permainan alat musik tradisional dan perkembangannya. Tari juga mencakup berbagai genre mulai dari tari tradisi dan juga tari modern. Teater juga dapat dilihat dari berbagai genre seperti tradisi, modern, realisme, absurd, teater tubuh dan lain sebagainya. seni musik lebih memainkan musik barat berdasarkan zamannya. Selain seni pertunjukan, seni rupa juga dapat dijadikan bahan untuk menulis di media massa.
            Setiap semester di institut seni indonesia padang panjang akan banyak sekali pertunjukan-pertunjukan seni maupun pameran-pameran yang dilakukan oleh mahasiswa. Akan tetapi anehnya, sangat sedikit sekali yang berani menulis di media massa tentang pertunjukan tersebut. Faktor utama yang menyebabkan hal tersebut adalah sifat malas yang dipelihara, hingga tidak tau kiat untuk menulis di media massa. Dan yang paling mungkin dari hal itu semua adalah belum terasahnya kemampuan seseorang untuk menangkap ide, memperoleh issu, ataupun kreatifitas yang belum teruji.
            Masalah kepekaan dan ketajaman dalam memperoleh issu memang tidaklah datang dengan sendirinya. Perlu dilakukan latihan yang serius dan focus untuk mendapatkannya. Setelah dilakukan latihan tersebut maka haruslah dibiasakan untuk menulis secara terus-menerus sehingga akan terbiasa melakukannya.
            Untuk memulai menulis kritik tentang sebuah seni, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengenali dan memiliki pemahaman terhadap subjek yang ditulis. Setidaknya mengenali istilah-istilah khusus yang berkaitan dengan seni yang akan ditulis. Disamping hal tersebut, memiliki referensi terhadap tulisan tersebut juga harus dimiliki, hal tersebut berguna untuk mengetahui tulisan-tulisan yang disukai oleh orang dan agar tulisan yang akan ditulis tidak ketinggalan zaman.
            Paling penting dari melakukan kegiatan menulis haruslah memiliki kemauan untuk menulis itu sendiri. Kita harus bisa melawan rasa malas yang ada dalam diri kita untuk melakukannya. Pada umumnya orang bisa menulis, akan tetapi dengan tidak adanya kemauan dan dorongan yang kuat maka hal tersebut tidak dapat terlaksana dengan baik.
             Memperoleh informasi yang dijadikan untuk bahan tulisan yang paling efektif adalah dengan menyaksikan pertunjukan atau hadir kedalam pameran seni rupa yang di hadirkan. Dengan demikian kita dapat menggali informasi tentang karya tersebut, dan menjadikannya sumber ide dari tulisan yang akan ditulis. Ketika menyaksikan suatu pertunjukan yang harus dilakukan adalah mengamati suasana, mencatat jumlah pemain, judul dan lama durasi pertunjukan. Dan untuk memperoleh informasi yang lebih akurat dan tajam maka diperlukan wawancara baik dengan seniman pengkarya ataupun dengan penonton yang hadir menyaksikannya.
            Menonton dan mengamati adalah suatu pekerjaan yang hampir mirip akan tetapi sebenarnya sangat jauh berbeda. Mengamati diperlukan tingkat focus yang tinggi terhadap detail dari pertunjukan tersebut. Yang paling penting dari hal itu semua adalah memanfaatkan indera penglihatan (visual), pendengaran ketika menyaksikan pertunjukan tersebut. Selain itu diperlukan daya ingat yang kuat dan tajam yang digunakan untuk menafsirkannya nanti ketika akan ditulis. Dalam suatu event atau festival, hal awal yang harus dilakukan adalah menanyakan informasi kepada panitia, seniman atau budayawan untuk mendapatkan informasi mengenai karya siapa yang paling bagus. Hal tersebut sangat diperlukan, karena untuk menulis di media haruslah melihat kualitas kita dalam mendapatkan informasi, sehingga jika nanti tulisan kita yang menarik maka akan diterbitkan akan tetapi jika kualitas tulisan kita tidak baik maka siap-siap untuk tidak diterbitkan.
            Karya seni memiliki aspek-aspek yang dilihatkan kepada public. Yaitu berupa keutuhan atau kebersatuan, penonjolan atau penekanan dan keseimbangan. Keutuhan yang dimaksud di sini adalah sebuah karya seni yang ditampilkan kepada masyarakat haruslah sebuah karya seni yang sempurna dengan kata lain sebuah karya yang bebas dari cacat atau kekurangan. Sedangkan penonjolan disini adalah mengarahkan perhatian penonton terhadap hal-hal tertentu.
            Para ahli berpendapat bahwa dalam sebuah karya seni harus memiliki tiga unsur yaitu etika, estetika dan logika. Etika maksudnya adalah bahwa karya seni harus berdasarkan etika secara umum maupun terhadap suatu barometer yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Estetika yakni karya seni tersebut haruslah memiliki cita rasa keindahan yang dapat dinikmati masyrakat setempat. Sedangkan dari segi logika adalah bahwa karya seni tersebut dapat diterima oleh akal sehat masyrakat.
            Setelah menyaksikan suatu pertunjukan atau pameran, tugas selanjutnya yang harus dilakukan adalah menulis hasil pertunjukan dan pemeran tersebut. Dimana tulisan yang dapat dibuat seperti feature, resensi, atau ulasan ringan, kritik. Resensi atau review lebih bersifat informative, biasanya seperti memaparkan kembali sesuatu atau sebuah masalah. Kekuatan resensi adalah pada kemampuan dari penulis untuk mendeskripsikan karya seni, seolah-olah karya seni tersebut tampak jelas dan dapat didengar oleh para pembaca. Analisis dan interpretasi terhadap karya ada dilakukan, tetapi tidak begitu dalam.
            Dalam menulis kritik karya seni, ada hal- hal yang penting yang perlu dimiliki oleh seorang kritikus, yakni kepekaan atau kemampuan teknik. Kepekaan disini yang dimaksud adalah bagaimana kemampuan seorang dalam melakukan produksi (proses penciptaan) sangat membantu seorang kritikus untuk menulisk kritik. Di samping itu, hal yang tidak kalah pentingnya untuk dikuasai adalah teknik untuk mengamati pertunjukan dan menuliskan hasil pengamatan untuk mempublikasikannya. Kemudian diperkuat dengan teknik mengkomunikasikan pikiran, pengalaman, interpretasi dan penilaian estetik dalam bentuk tulisan
            Memiliki pengetahuan terhadap subjek yang dikritisi juga merupakan hal yang amat diperlukan dalam menulis sebuah kritik. Pengetahuan terhadap objek berupa, asal-usul, sejarah dan perkembangan dan lain sebagainya. Di samping hal itu, diperlukan juga sikap kritis, dalam bentuknya yang paling dasar berupa kemampuan berfikir logis. Sikap “tidak kritis” atau tidak logis menjadi penghalang utama untuk menjadi seorang kritikus. Sementara kepekaan rasa, khususnya rasa estetis dapat membantu menyelami bagian yang menyentuh emosional dan penjiwaan atau ekspresi terhadap karya seni.
            Berbagai bentuk kreatifitas penciptaan di bidang musik dengan berbagai macam event telah banyak dilakukan di indonesia. Mulai dari penciptaan komposisi musik yang bersumber dari tradisi, intercultural, kolaborasi dan lain sebagainya. menggunakan berbagai macam alat musik seperti alat musik tradisi, alat musik barat dan medium lainnya. Namun ada satu sisi kreatifitas musik yang sampai saat ini masih belum banyak diminati yaitu kreatifitas musik dengan menggunakan media computer. Penciptaan musik di bidang ini mengarah pada pengandalan artistic musik oleh komposernya dan juga kreatifitas seperti ini belum muncul kepermukaan , baru berupa tataran pribadi bagi pembuatnya. Hal ini tentu sangat berbeda dengan kreatifitas dengan menggunakan alat musik yang sudah umum di masyarakat. Mungkin kreatifitas seperti ini hanya di peruntukkan bagi orang yang bekerja di studio-studio. Selain itu, keterbatasan teknologi dan kekurangan pemahaman terhadap teknologi tersebut membuat kreatifitas musik seperti ini belum banyak diminati oleh banyak orang.
            Hibrida dalam musik merupakan sebuah istilah yang masih samar, atau tidak familiar bagi penikmat musik ataupun orang awam. Di dalam musik, hibrida dapat diartikan sebagai pencangkokan beberapa unsur musik yang berbeda latar budaya dan karakternya, kemudian menjadi musik baru. Kecendrungan yang sering dilakukan adalah pencangkokan musik tradisi dengan musik barat yang beraliran populer, dangdut dan lain sebagainya. pencangkokan terjadi dapat saja menuju kearah yang permanen, akan tetapi ada pula yang masih dalam penjajakan seperti bongkar pasang instrument, tawar-menawar konsep musik anatara yang satu dengan yang lainnya dalam upaya mencari kecocokan musik. Selain itu ada pula usaha untuk pencangkokan musik yang menuai kegagalan.
            Kasus musik seperti ini telah banyak kita jumpai di seluruh nusantara. Beberapa musik tradisi dari daerah minangkabau telah mengalami hal seperti itu.  Seperti dendang-dendang irama saluang dikemas dalam musik disco, seperti reggae, dance-remix dan lain sebagainya. musik-musik seperti ini banayk digunakan sebagai peluang pasar di sumatera barat. Hal itu terbukti dengan tetap bertahannya label-label seperti minang record, dan nada musik record di pelantara musik minangkabau. Biasanya mereka mengikuti trend yang sedang ada pada saat ini. Namun pencangkokan musik seperti ini cenderung bersifat temporar, dan tidak berkembang atau gagal.
            Pencangkokan terhadap dendang yang beriorentasi dengan musik populer terlihat sangat sederhana, seperti saluang orgen. Pencangkokan dalam jenis ini terlihat premature dan abal-abal, karena tidak mengutamakan aspek estetik musik secara luas. Pencangkokan dalam jenis ini mempunyai prinsip asal dapat dimainkan untuk memenuhi selera hiburan masyrakat.
            Musik-musik tradisi minang yang berbasis islami pun tidak luput dari pengaruh hibrida seperti salawaik dulang. Genre musik ini sejatinya digunakan untuk menyiarkan dakwah islami di masjid dan mushalla. Salah satu dalam struktur sajiaannya berupa lagu cancan, memberikan ruang untuk hiburan yang tentunya masih dalam konteks islami. Akan tetapi yang terjadi pada masa sekarang ini adalah, ruang ini digunakan oleh parapemain salawaik dulang untuk menyanyikan berbagai lagu dan diadopsi mengikuti tempo dan cara melagukan salawaik dulang oleh pemainnya. Begitu juga dengan lagu-lagu indang piaman yang biasanya disajikan solo dan koor ala indang, kemudian di tambah dengan rapa’I (sejenis rebana kecil), baik dimainkan secara bersama atau terpisah, turut pula terimbas. Seniman-seniman musik pop minang, sudah banyak menggarap lagu indang dalam kemasan pop, dan direkam untuk komersil.
            Selain musik, seni tari juga mengalami hal yang serupa. Secara keseluruhan, kolaborasi di dalam seni tari telah membuahkan suatu kreatifitas yang nyata dengan munculnya koreografi baru. Selain dialog budaya, yang penting juga adalah telah terjadi komunikasi lintas budaya, lintas bangsa dalam suatu ikatan emosional kesenian. Meski berbagai persyaratandan persoalan yang berkaitan dengan kolaborasi masih perlu dipahami  secara mendalam, agar persentuhan budaya tidak hanya terjadi pada tataran kulit luar saja. Tetapi sampai pada jiwa atau rohnya. Tentu saja kesetaraan kemampuan teknik dan interpretasi para kolaborator terhadap materi timbal balik sangat diperlukan. Yang tidak kalah penting juga adalah ketersediaan waktu yang memadai sebuah proses.
            Contoh kritik terhadap pementasan teater ada banyak sekali terdapat di surat kabar. Salah satunya adalah pementasan tangga karya Yusril “katil”, diaman judul dari kritik tersebut adalah “menuju tangga kekuasaan: pertunjukan teater kolaboratif.” Di bagian awal kritik ini di tuliskan saja puisi yang merupakan penggalan dialog oleh para aktor. Dimana pada pementasan tangga ini merupakan karya kolaboratif yang melibatkan seniman teater, tari dan musik serta penyair sumatera barat. Gagasan karya terisnpirasi dari percaturan kekuasaan dengan bingkai demokrasi ala minangkabau ditafsir dengan situasi kekinian yang lebih universal. Ini merupakan karya teater eksploratif, tetapi minim kata-kata, mengusung Sembilan buah tangga sebagai propertinya, karya ini melibatkan Sembilan pemain yang terdiri dari tiga orang penari dan enam orang pemain teater.
            Kritik pertunjukan tangga ini menggambarkan tentang pementasan tangga. Yang dimulai dengan mengupas bagian sisi menarik dari pertunjukan tersebut. Bagian yang cukup menarik dicatat agaknya konfigurasi formasi tiga dan empat.katil mencoba menonjolkan perempuan di atas “singgasan kekuasaan”. Eksplorasi enam buah tangga yang ditegakkan dengan membentuk formasi tiga buah segi tiga sama kaki berjejer diagonal ke kiri pentas. Masing-masing tangga dipegang oleh seorang pemain. Sementara pemain (indah) menaiki tangga, mulai dari tangga belakang sampai ketangga depan. Di puncak tangga ia berdiri mengepakkan tangan dan melakukan gerak-gerak eksplorasi sambil mengucapkan teks-teks singkat.
            Yang tak kalah menarik adalah eksplorasi yang dilakukan oleh seluruh pemain dengan mengusung tangga menjelajahi setiap lini pentas. Mereka berlari mencari ruang kosong dan mengisinya silih berganti. Tampak ketegangan dan kesembrautan berpadu dengan ekspresi menyeringai di wajah mereka. Eksplorasi ini dilanjutkan dengan menghentakkan tangga ke lantai sambil membentuk lingkaran. Seolah-olah mereka terkerangkeng dalam jeruji medium mencari kekuasaan. Lalu mereka menjatuhkan tangga masing-masing ke lantai. Tampak bagaikan kelopak-kelopak bunga berguguran.
            Sebagai penutup dari tulisan tersebut membahas tentang budaya di sumatera barat.  Sebagai penutup , eksplorasi  tangga seperti membentuk replica rumah gadang. Dengan latar belakang visual art yang digarap oleh dede pramayoza, para pemain duduk dan berdiri di atas da di bawah rumah gadang. Sarah menuruni tangga dengan eksplorasi-eksplorasi gerak yang dipadu dengan beberapa gerak tari piring tradisi minang. Ia bergerak kedepan di atas dua buah tangga yang direbahkan memanjang kearah depan. Sementara di tengah tangga itu terletak sebuah carano sebagai symbol ketulusan hati dan pendamai dalam berbagai kegiatan adat minangkabau. Carano yang biasanya diisi dengan daun sirih dan buah pinang, kali ini diganti dengan ratusan permen, diangkat oleh sarah dan dibagi-bagikannya kepada para penonton.ini benar-benar sebuah symbol tergerusnya budaya oleh berbagai kepentingan (terutama politik ).
            Karya yang berdurasi sekita 55 menit ini, sejatinya memiliki etika konvensional. Seperti ungkapan “bajanjang naiak batanggo turun”. Segala sesuatunya sudah aturan dan tata caranya. Akan tetapi benturan muncul ketika situasi kekinian tidak lagi tertampung dalam koridor adat. Bagaimanapun katil dan kawan-kawan telah menyajikan sebuah penawaran sajian teater kolaborasi yang berimbang. Begitulah bunyi tulisan akhir dari kritik terhadap pertunjukan tangga yang di muat dalam majalah gong.
            Contoh tulisan kritik tentang seni perfilman , “uang naik” karya( sutradara ulfiani). Dalam tulisan ini dapat ditangkap bahwa film ini menceeritakan suatu kisah nyata yang dialami oleh seorang pemuda bernama ryo yang ingin melangsungkan pernikahan dengan wanita yang sebenarnya sudah menjadi pacarnya selama dua tahun. Akan tetapi keinginan untuk menikah itu, harus melalui suatu tradisi yang sangat kental dalam masyrakat bugis-makassar yaitu tradisi “uang naik” uang naik disepakati jumlah nominalnya dan dibayarkan sebelum akad nikah dilangsungkan.
            Didalam kisah tersebut diceritakan bahwa nominal yang diminta oleh orang tua perempuan adalah Rp. 40 juta sedangkan Ryo hanya sanggup membayar Rp. 35 juta. Setelah diadakan tawar menawar dan orang tua dari si perempuan tetap pada pendiriannya, akhirnya Ryo membatalkan pernikahan dengan kekasihnya tersebut dan berniat untuk pergi merantau mencari gadis lain. meskipun demikian, dalam film ini tidak dimunculkan kekecewaan bathin yang dialami oleh gadis, tidak jadi menikah dengan Ryo. Boleh jadi, kekuatan konvensi hukum adat telah mengalahkan perasaan, memori indah yang pernah dialaminya bersama Ryo, sehingga tidak keinginan dari sutradara untuk mengangkat sisi lain dari si wanita. Padahal bagian awal dari film ini, sutradara mencoba mencuplik beberapa pendapat wanita yang belum menikah mengenai uang naik. Ada secara gambling mengatakan jumlah uang naiknya, namun ada pula yang secara satire yang menyampaikan bahwa sebagai perempuan agaknya ia seperti dihargai  dengan sejumlah uang yang ditetapkan. Mengapa hanya gara-gara uang naik, jalinan cinta yang telah dibina sejak lama justru kandas karena adat dan tradisi.
            Sayang, film ini terasa seperti sebuah realitas yang sangat personal sekali. Seakan-akan ini kisah dari pribadi-priabadi para pemuda Makassar. Padahal ini sudah menjadi permasalahn bersama bagi semua laki-laki yang akan melakukan perkawinan. Tradisi yang telah menjadi adat, dan menjadi konvensi yang harus dipatuhi oleh setiap laki-laki. Sutradara tidak mencoba mengkaitkan dengan latar budaya perkawinan yang ada di Makassar sebagai pilihan visualnya yang otentik. Justru ditampilkan adalah setting dengan lokasi alam yang secara tidak langsung tidak mendukung pada aspek budaya yang sedang digarap menjadi film.
            Sementara dari aspek pengambilan gambar, ketajaman atau kualitas gambar, penataan gambar, dan daya tarik (seni) sebagai sebuah karya film, tampaknya masih memiliki beberapa kelemahan. Ini bukan berarti pula bahwa film documenter itu, harus selalu memiliki sentuhan estetik, seperti layaknya film-film fiksi.
            Riset tehadap aktivitas yang berkaitan dengan uang naik sejak dari awal hingga mencapai kesepakatan yang dilanjjutkan dengan pernikahan, masih perlu dilakukan lagi oleh sutradara secara cermat. Yang paling penting sebagaimana dikatakan ayawaila adalah penafsiran kreatif terhadap perisitwa uang naik yang berkaitan dengan perkawinan. Dengan demikian, realitas dalam mewujudkan uang naik sebagai salah satu persyaratan perkawinan dalam budaya Makassar, dapat terangkat dengan baik.  
            Uang naik sebagai selah satu persyaratan pernikahan di makasar masih berlaku hingga sekarang. Jumlah nominal besarnya uang naik sering menghambat pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Meskipun mereka telah menjalin asmara sebelumnya. Tinggi atau mahalnya uang naik, memberikan dampak buruk terhadap pergaulan muda-mudi di sana, tak jarang terjadi kawin lari, hamil sebelum nikah yang akhirnya memaksa orang tua perempuan menyetujui pernikahan.
            Sampai saat ini sumatera barat tidak terhitung sebagai provinsi yang mendukung produksi film. Sebagaimana kita lihat segala hal yang berhubungan dengan film, baik sutradara, cameramen dan sebagainya masih didominasi oleh Jakarta. Bila dilihat dari segi peluang bisnis, sumbar sama sekali tidak termasuk kedalam suatu tempat hyang menjanjikan finansial, malah yang terjadi sebaliknya, jika film dilakukan di sumbar maka yang terjadi adalah mendapat kerugian yang berlipat ganda. Dari segi alat pun juga tidak tersedia di sini.
            Bagi para filmis, aktris tentu beranggap bahwa jika menggarap sebuah film di sumbar tentu akan sangat sia-sia. Idealism mereka tentu adalah menjadi terkenal dan kaya raya, oleh karena itulah banyak yang pergi merantau ke Jakarta. Akan tetapi walaupun sumatera barat bukan merupakan daerah yang menggerakkan perfilman namun dari daerah ini banyak terlahir tokoh-tokoh perfilman yang disegani di indonesia, seperti Usma ismail, Djamaludin malik, Asrul sani, dan tentunya generasi-generasi di bawahnya yang tidak terhitung jumlahnya.
            Perkembangan teknologiu di bidang alat rekam semakin membuat insan perfilamn di sumatera barat untuk berkarya, dengan modal yang sedikitpun sekarang sudah dapat membuat sebuah film pendek. Motivasi dan antusias ini muncul dari kalangan seniman yang mengecap pendidikan sinematografi, dan hanay sekedar mengikuti ide gila serta kemauan kuat, untuk membuat film. Antusias ini paling tidak telah mereka tunjukkan melalui karya-karya film pendek dan documenter, walaupun dalam skala dan standar yang masih minim, dibandingkan dengan karya film layar lebar.
            Di luar perorangan muncul beberapa komunitas film di sumatera barat, baik darp padang, bukittinggi dan kota lainnya maupun di perguruan tinggi seperti UNP padang, Unand, Universitas bung hatta dan ISI padang panjang.  Ada banyak sekali macam film yang dapat di buat seperti dokumenrasi, documenter, etnofilm, antropologi visual, film pendek.
            Dokumentasi audio visual pada dasarnya tidak memerlukan scenario sebagai panduan atau acuan untuk merekam gambar. Oleh karena kerja dokumentasi lebih difokuskan pada perekaman sebuah peristiwa yang ada, yang lebih penting dari kerja ini, bagaimana moment atau peristiwa penting dan dianggap penting terekam dengan baik. Untuk mendokumentasikan sebuah ritual atau alek nagari, yang amat diperlukan adalah bagaimana moment penting terekam dengan baik, karena moment itu tidak dapat diulang.
            Film documenter memerlukan scenario sebagai pedoman atau acuan bagi sutradara dan cameramen dalam mengambil gambar. Apa yang menjadi focus karya dalam scenario sudah tergambar. Dari hasil survey disusun scenario dan apa yang menjadi focus dalam karya. Karya film documenter sudah harus memperhitungkan aspek estetik, teknik, dan kualitas. Setiap karya film documenter dapat saja menjadi dokumentasi.
            Etnofilm merupakan karya-karya yang biasanya menghadirkan atau mengangkat sisi-sisi kehidupan dari suatu suku atau etnik, dan biasanya tim yang membuat film ini membaur dalam masyarakat untuk memahami lebih dalam nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Karya fil seperti ini lebih memfokuskan pada citraan etniknya.
            Antropologi visual merupakan film yang mengangkat tentang aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh sekelompok atau komunitas masyarakat tertentu. Sedangkan film pendek adalah film yang memiliki durasi pendek akan tetapi di dalamnya tetap terdapat apa yang ingin di sampaikan oleh sutradara, sedangkan dari aspek teknis diperlukan kepandaian khusus untuk mengedit gambar-gmbar.
            Contoh dari kritik terhadap seni rupa adalah kande warisan budaya aceh yang terlupakan: sebagai inspirasi penciptaan seni. Di awal tulisan dituliskan pengenalan terhadap kande itu sendiri. Kande adalah lampu minyak yang biasanya digunakan untuk menerangi rumah-rumah adat di daerah aceh, meunasah, masjid dan rumah penganten saat perkawinan. Bahkan fungsinya yang paling penting pada masa lampau adalah untuk menunggu tamu-tamu kerajaan.
            Setelah pengenalan terhadap kande, lalu tulisan selanjutnya menggambarkan ironi yang dialami oleh kande itu sendiri: Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman, dan kemajuan teknologi, sejak listrik masuk ke pelosok-pelosok kampung, kande mulai ditinggalkan orang. Bahkan yang lebih menyedihkan, kande tidak dilirik lagi sebagai media penerangan yang amat berjasa pada masa lampau. Orang sudah beralih menggunakan listrik, yang sinarnya lebih terang benderang. Akhirnya kande di jadikan barang antik.
            Setelah itu tulisan ini menghadirkan pengenalan terhadap seniman pembuat karya tersebut juga termasuk membeberkan konsep yang digunakan oleh pengkarya. “Adalah mahruzal anak muda aceh yang kuliah di jurusan seni kriya STSI Padang panjang, melirik kande sebagai sumber inpirasi penciptaan karya di bidang karya kayu. Bahkan kande dijadikan sebagai konsep dasar “local intens” dari situ ia dapat membuat beberapa karya seni dari bahan kayu nangka dan pokat.
            Tulisan ini juga menghadirkan beberapa persamaan dan perbedaan konsep yang dimiliki oleh semua karya mahruzal. “masing- masing itu memiliki dimensi yang berbeda dari aspek bentuk, teknik pengolahan (ukir) dan teksturnya. Tetapi ciri kuat motif yang terdapat pada kande tetap dihadirkan, yaitu motif pilin ganda atau motif pucoek pakoe, kemudia dibubuhi tujuh sumbu dari plat logam aceh. Karyanya yang berjudul kecemasan itu diwujudkan dengan bentuk putaran ( lingkaran) dari kecil hingga besar, dengan tekstur berjenjang, sepeerti rumah keong. Guratan pusaran itu, seperti guratan batin mahruzal. Karya ini dilengkapi dengan lima sumbu dari plat. Media yang digunakan adalah kayu pokat. Untuk pewarnaannya digunakan semir hitam dan coklat.
            Di akhir tulisan disebutkan keprihatinan pengkarya terhadap budaya yang ada di daerahnya. “ apa yang telah dilakukan mahruzal melalui karya-karya yang telah dia buat sedikit-banyak telah menampakkan keprihatinan seorang muda aceh terhadap kehilangan salah satu budaya masa lalu. Ini dapat menjadi cemeti bagi seniman muda lainnya, bahwa kekayaan budaya masa lalu ( seni tradisi), dapat menjadi sumber inspirasi penciptaan karya seni baru.
           
            

review buku DRAMATURGI SANDIWARA


Di minangkabau telah lama berkembang kesenian teater yang sering dipentaskan di kampung-kampung, yang biasa digunakan untuk mengisi acara pada hari-hari besar keagamaan seperti idul fitri ataupun hari-haru besar lainnya seperti HUT kemerdekaan.  Kesenian teater ini kalau diminangkabau disebut dengan istilah Sandiwara kampuang. Sandiwara kampuang tersebut banyak diminati oleh orang-orang hal itu terbukti dengan banyaknya jumlah penonton yang hadir ketika menyaksikan pegelaran teater tersebut.
Tanpa kita sadari, ternyata sandiwara memiliki andil yang sangat besar dalam perkembangan kesenian di minangkabau. Hal itu dapat dibuktikan dengan ikut sertanya masyarakat luas dalam menentukan pola artistic yang ada di dalam sandiwara kampuang.  Sandiwara sendiri dapat dikatakan sebagai kesenian populer melihat banyak peminat dari kesenian ini. Sebenarnya perkembangan sandiwara di minangkabau merupakan suatu yang menarik, mengingat di daerah ini telah berkembang randai yang merupakan teater tradisiional khas minangkabau. Dengan demikian perkembangan sandiwara sendiri menghadirkan kebingungan, bagaimana ia berkembang sendiri dan tidak ikut mengembangkan kesenian tradisional yang ada di minangkabau sendiri.
Istilah sandiwara sendiri berasal dari kata tonil atau yang dalam bahasa belanda berarti pengajaran terselebung atau tersembunyi. Dengan demikian bisa diambil kesimpulan bahwa penamaan sandiwara terdapat ikut campur tangan bangsa colonial. Pada awalnya sandiwara merupakan sebuah seni teater yang digagas oleh bumi puetra pra-indonesia untuk melawan budaya colonial, hal ini memungkinkan terjadinya peruabahan semangat pengajaran terselubung dalam sandiwara.
Sandiwara merupakan sebuah hybrid atau kawin silang dari teater tradisional dan teater modern, hal tersebut dapat kita buktikan dari sandiwara yang cenderung mementaskan lakon lisan dan tidak tertulis layaknya teater tradisional, sedangkan di sisi lain sandiwara memberikan pemisahan antara wilayah tontonan dan penontonnya dimana hal ini merupakan ciri khas dari sebuah teater modern. Ternyata gagasan-gagasan modern yang berkembang setelah masa colonial mendorong berbagai seni dramatic (teater) untuk menyikapi kondisi sosial yang baru yang dihasilkan dari proses modernisasi.
Teater rakyat ataupun drama poskolonial di indonesia yang telah menerima gesekan hibrida dari opera melayu dan tonil membuat kesenian seperti dianggap tidak serius sehingga tidak terlalu dikaji lebih jauh oleh para kritikus. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan kita kalau sandiwara sudah terpinggirkan dari budaya sumatera barat, padahal bisa saja dengan adanya sandiwara merupakan jawaban terhadap kesenian tradisional, Randai.
Hal tersebut tentu sangat ironi, mengingat sandiwara telah bereperan besar dalam perkembangan kesenian teater modern di sumatera barat. Lebih lanjut, sandiwara memiliki peran yang luas dalam perkembangan teater secara umum di minangkabau. Namun kesemua hal tersebut baru dugaan awal karena belum dilakukannya penelititan yang lebih jauh terhadap asumsi yang mengarah kepada peran sandiwara itu sendiri.
Disposisi estetika dalam konteks drama dan teater di dalam formula dramaturgi akan terefleksikan melalui sebuah pertunjukan teater. Atas mdasar hal tersebut, aktivitas menonton sebuah pertunjukan teater berarti proses menguraikan kode-kode yang dikodekan dalam pementasan tersebut. Dimana kode-kode yang dimaksud adalah ideologis atau kode budaya yang memungkinkan penonton untuk membaca nilai yang ada di dalam suatu pertunjukan teater. teori dramaturgi mengandalkan pola tertentu dalam membuat karya teater. Dengan demikian, logika terbalik dapat digunakan untuk membahas tentang suatu teater, dengan asumsi teoritis bahwa ciri-ciri khas dari kategori-kategori berbeda dari setiap penciptanya pula.
Atas dasar hal tersebutlah, sandiwara harus ditinjau latar belakang kemunculannya dalam sudut pandang kesejarahaannya untuk melihat analisis yang telah merekontruksi dramaturginya serta disposisi estetika penonntonnya. Dengan hal tersebut dapat kita ketahui bersama sejarah yang melatarbelakangi kemunculan sandiwara di masyarakat minangkabau Sumatera barat. Perkembangan teater di indonesia melalui tahap-tahap. Dimana perkembangan teater di Indonesia sendiri dipengaruhi oleh budaya india, Timur tengah, dan baratnya terlihat sangat dominan. Pengaruh kebudayaan india dapat kita lihat dari teater tradisional yang memainkan nilai-nilai spiritual yang masih digunakan sampai saat ini. Pengaruh kebudayaan timur tengah dapat kita saksikan dengan kemunculan teater bangsawan, dimana pengaruh utamanya terletak pada bagian ceritanya. Sedangkan pengaruh kebudayaan barat dapat dilihat dari pengenalan teks tertulis, panggung proscenium dan lain-lain.
 Teori diatas dapat membantu pengenalan tentang gejala sandiwara, pengaruh kebudayaan india dan barat dapat kita lihat bersamaan dalam proses pemberian nama, yaitu kata sandiwara di dalam sandiwara itu sendiri. Kata sandiwara sendiri berasal dari bahasa sanskerta yakni kata sandi yang berarti lambang dan wara yang artinya pengajaran. Sehingga sandiwara sendiri mewrupakan pengajaran lewat perlambang. Namun teori diatas juga belum terbukti kebenarannya karena menghadirkan kesan jika bangsa indonesia menerima setiap kebudayaan yang datang, padahal dari pergantian dari istilah tonil menuju sandiwara mengindikasikan adanya perlawanan budaya dari bangsa indonesia terhadap bangsa asing. Dan juga teori tersebut juga tidak menjelaskan, apakah kebudayaan baru yang datang ke indonesia menghilangkan yang lama, padahal hal tersebut memungkinkan di indonesia untuk terjadinya keberagaman respons atas kedatangan kebudayaan-kebudayaan baru tersebut. Oleh karena hal di atas, diperlukanlah teori yang bisa mengupas lebih dalam tentang sandiwara tersebut. Mengingat teori tersbut belum dilengkapi teori yang dapat membantu melihat respon masyarakat indonesia terhadapa kedatangan teater dan dramaturginya.
Perkembangan seni dramatic di sumatera barat pertama kali dicatat oleh van kerckoff yang menyinyalir kalau kedatangan tonil melayu di sumatera barat berasal dari riau. Tonil melayu yang berkembang di Padang sebagai bentuk respon dari kedatangan atau kemunculan wayang tjina di singapura dan komedi parsi di Malaysia. Dari keterangan vam kerckoff tersebut bisa disimpulkan bahwa tonil melayu mungkin sangat digemari oileh masyarakat padang karena faktor bahasa melayu yang sangat mirip dengan bahasa minangkabau. Selain itu, gejala tonil melayu adalah implikasi dari tumbuhnya kota-kota di nusantara dan padang adalah kota terbesar di pesisir pantai sumatera barat waktu. Dari padang, tonil melayu cepat tersebar ke daerah lain si Simbar seperti padang pariaman, padang panjang, bukittingi, payakumbuh dan daerah sekitarnya.
Senada dengan van kerckoff, Rusli amran juga mengatakan kalau pada abad 20 telah muncul gedung-gedung pertunjukan di padang anatara lain gedung komidi. Di gedung tersebut datang beberapa rombongan stambul yang ternama pada zamannya. kedatangan rombongan stambul tersebut membuat permainan stambul menjadi sangat populer di padang sehingga dimana-mana orang berlomba-lomba membuat kelompok stambulnya sendiri-sendiri. Terdapat pula indikasi bahwa petinggi belanda memberi dukungan terhadap hal tersebut.
Dari keterangan di atas dapat digunakan untuk memahami kemunculan sebuah rombongan pertunjukan di padang yang bernama padangsche opera. Kelompok ini banyak memainkan lakon-lakon yang sangat populer pada masa itu bahkan sampai saat ini seperti lakon siti nurbaia dan laras simawang. Mattew Isaac coheen menandaskan bahwa mementaskan lakon-lakon adaptasi dari novel-novel terkenal sezaman terutama yang ditulis oleh orang minangkabau merupakan sumbangan besar dari kelompok padangsche opera.
Berdasarkan uraian di atas menunjukkkan kalau di sumaetera barat pada abad 19-20 telah berkembang opera melayu. Dan yang menarik dari hal tersbut adalah kemungkinan randai yang berdialog seperti sekarang mulai berkembang.  Perkembangan kesenian randai seperti yang ada saat ini diyakini oleh para pengamat sebagai pergesekannya dengan rombongan bangsawan, terutama dalam hal seni perannya. Berkebalikan dengan randai, justru ada dua hal yang membedakan antara padangsche opera dengan opera melayu, yakni dialog yang diucapkan bukan dinyanyikan, dan juga bahasa yang digunakan adalah bahasa minangkabau bukan bahasa melayu. Dengan demikian, padangsche opera besar kemungkinan telah turut mempengaruhi transisi cara pengucapan dialog dari dinyanyikan menjadi diucapkan secara biasa.
Perkembangan seni pertunjukan dramatic di sumater barat selanjutnya juga dipengaruhi oleh tonil sekolah yang dikembangkan oleh colonial belanda. Hal itu terbukti dari beberapa dokumentasi dari PDIKM (pusat dokumentasi dan informasi kebudayaan minangkabau) menunjukkan bentuk pertunjukan tonil sekolah yang berkembang di sekolah raja (kweekschool) bukittingi (fort de kock). Dokumentasi tersebut dapat dihubungkan dengan sinyalemen AA. Navis bahwa pada tahun 1926 seorang guru dari belanda mengangkat cerita cindua mato ke dalam bentuk sandiwara dengan tokoh bundo kanduang ditampilkan sebagai ratu aristokratik.
Strategi kebudayaan colonial jepang yang berusaha melenyapkan berbagai anasir kebudayaan colonial dapat dilihat sebagai faktor sebagai berkembang luasnya istilah sandiwara dikemudian hari. Perkembangan seni dramatic sumatera barat pada zaman jepang ditandai dengan kemunculan kelompok  sandiwara ratoe asia yang menurut sejarahnya berdiri di padang panjang, dan telah memainkan banyak lakon-lakon pada masanya.
Kedatangan colonial jepang bersama propaganda kebudayaannya menjadi momentum kebangkitan sandiwara. Karena sebelum kedatangannya orang-orang tonil dan sandiwara telah beralih untuk meramaikan dunia film sehingga sandiwara di tinggalkan pada saat itu. Kemunculan kelompok ini juga menandai dan dapat disebut kelesuan dunia hiburan. Ada perbedaan tentang kemunculan kelompok ratu asia ini di dalam hubungannya dengan colonial jepang. Ada yang mengatakan untuk mengimbangi hegemoni kebudayaan jepang dan ada pula pendapat yang mengatakan bahwa kelompok ini merupakan strategi kebudayaan jepang.
Setelah proklamasi kelompok ini berubah menjadi kelompok sandiwara keliling yang mempropagandakan rakyat untuk menghadapi agresi militer belanda. Peran itu mereka wujudkan. Tampaknya sandiwara jenis ini telah berhasil membentuk dan meunculkan kelompok sandiwara lainnya di sumatera barat. Di tahun 1950 an, di sumatera barat berkembang dua jenis sandiwara yaitu sandiwara keliling dan sandiwara pelajar yang digelar disekolah-sekolah. selain hal itu ada juga berkembang pada masa itu sandiwara radio yang disiarkan melalui RRI. Meski tidak banyak yang dapat di catat dari gejala ini namu dapat kita lihat bahwa hal tersebut memunculkan indikasi penggunaan teknologi komunikasi massa dalam perkembangan sandiwara di sumatera barat.
Peristiwa PRRI ( pemerintahan revolusioner republic indonesia ) atau yang dikenal masyarakat local seabagai zaman peri-peri merupakan salah satu momentum besar masyarakat di minangkabau. Selama pergerakan zaman PRRI kesenian dan kebudayaan suamtera barat mengalami stagnasi akan tetapu pada zaman ini jugalah kesenian dan kebudayaan sumatera barat kembali meriah setelah pergerakan ini berekonsiliasi dengan pemerintahan republic indonesia.
Sandiwara hiburan yang bisa disebut organisasi perlawanan rakyat (OPR) bermunculan di sumatera barat. Dimana pada zaman ini kesenian sudah dijadikan sebagai sebuah media hiburan sekaligus media untuk melakukan sebuah propaganda. Semua orang yang memiliki jiwa seni dikumpulkan untuk menghiburkan rakyat yang baru saja melewati masa-masa sulit. Gejala pertunjukan seperti ini hanya berlangsung dalam waktu tiga tahun karena keadaan kesenian di sumatera barat berubah setelah dan seiring dengan berubahnya suasana politik. Sandiwara hiburan yang sebelumnya bergerak di bawah opr mulai bergabung ke arah sandiwara.
Sementara itu, sebagai dampak dari massa bergejolak di minangkabau juga menyebabkan eksodus besar-besaran masyarakat minang ke negeri rantau, sehingga di Jakarta berdiri satu komunitas yang menamakan dirinya badan kesenian alam minangkabau (BKAM) yang dengan gencar-gencarnya mempromosikan dan memainkan kesenian khas minangkabau di Jakarta.
Lingkungan adalah satu faktor yang menyebakan suatu kesenian berkembang. Seperti hal seni drama atau teater yang menjadikan lingkungan sebagai pokok sumber ide penggarapannya. Bukanlah hal yang mengejutkan jika karya-karya seni yang dianggap kurang berkualitas oleh beberapa kalangan, justru sangat digemari oleh masyrakat luas, hal ini menandakan kalau selera masyarakat kita yang masih amat rendah. Namun hal itu dapat dimengerti bahwa ketepatan karya terhadap fenomena yang terjadi dalam masyarakat tersebut yang melatarinya. Artinya setiap pertunjuka teater diandaikan selalu dilaksanakan dengan meletakkan kerangka sosial.
Masyarakat minangkabau membagi wilayah ke dalam beberapa bagian yaitu daerah luhak dan daerah rantau, di samping juga digambarkan sebagai daerah darek dan daerah pasisia. Pandangan terhadap alam ini secara langsung memberikan pandangan bahwa kesenian di minangkbau di pengaruhi oleh dua arus, yaitu kesenian rantau, terutama wilayah pasisia memperlihatkan pengaruh kebudayaan islam yang kuat. Sementara kesenian luhak memperlihatkan hubungannya yang amat erat dengan adaik (adat).
Dialektika antara dua sumber pengetahuan dan budaya masyrakat minangkabau menjadi tempat sandiwara hadir. Sandiwara umumnya diingat sebagai satu kesenian yang sangat digemari, disukai, pernah jaya, selalu ditunggu-tunggu dan digambarkan dengan berbagai ungkapan bernada optimisme. Meskipun sandiwara dalam beberapa hal dianggap suatu yang negative akan tetapi mayoritas penduduk sumater barat menganggapnya sebagai suatu yang positif .
Penggunaan kata sandiwara mempresentasikan pandangan minangkabau terhadap seni dramatic. Pada dasarnya sandiwara dimkanai tidak berbeda jauh makna yang diberikan oleh orang secara umum. Di dalam khazanah seni pertunjukan, apapun yang berhubungan dengan seni dramatic disebut sebagai sandiwara. Selain itu dalam kehidupan banyak sekali digunakan istilah sandiwara seperti istilah sandiwara politik, sandiwara elit, sandiwara hukum dan masih banyak istilah lainnya.
Dari banyaknya penggunaan istilah sandiwara di atas, dapat disimpulkan bahwa istilah sandiwara dalam masyarakat nusantara selain dipahami sebagai salah satu genre seni, juga dianggap sebagai salah satu bentuk sikap atau perbuatan dalam kehidupan sehari hari. Lebih jauh hal tersebut terefleksikan sebuah pandangan bahwa seni berperan yang menjadi subtansi utama sandiwara dipahami sebagai tindakan berpura-pura atau tindakan seolah-olah.
Sandiwara disebut sebagai seni berperan. Atas dasar seni peran itulah sebuah bentuk jenis pertunjukan dapat dikategorikan sebagai drama, yaitu seni yang mempertontonkan lakuan manusia. Adapun kata teater memiliki artian yang jauh lebih luas yaitu semua seni pertunjukan. Secara singkat teater dapat dikatakan sebagai seni pertunjukan drama atau pertunjukan seni lakon. Adapun istilah sandiwara minang muncul dari pengertian local bahwa selain memiliki unsur-unsur dramatic juga memiliki unsur hiburan seperti tari dan nyanyian. Namun imbuhan minang pada kata tersebut juga mengindikasikan kalau bahasa yang digunakan adalah bahasa minang. Padahal sandiwara tidak selalu menampilkan bahasa minang ketika melakukan pementasan, banyak informasi yang menunjukkan penggunaan bahasa melayu terutama untuk cerita yang dipandang modern.
Di minangkabau tidak mengenal yang namanya strata sosial semacam golongan ningrat dan rakyat jelata akan tetapi semua dianggap sama. Oleh karena itu kepemilikan kesenian juga dilakukan bersama seperti yang berlaku pada kesenian randai. Hampir seluruh rakyat minangkabau memiliki ikatan emosional yang kaut dengan randai, hal itu dikarenakan karena mereka menganggap kesenian ini sebagai kesenian yang khas yang dimiliki bersama oleh etni minangkabau.
Di minangkabau sandiwara sama populernya dengan kesenian randai dan tupai janjang. Namun terkadang randai dan tupai janjang dapat digelar untuk kepentingan komersil. Bedanya di dalam pegelaran randai atau tupai janjang tidak mengenal yang namanya sistem karcis, yang diketahui Cuma iuran sukarela penonton. Terdapat dua istilah yang digunakan oleh pemeran dalam pemeranannya yaitu penghayatan dan penjiwaan. Yang pada dasarnya kedua kata tersebut memiliki makna yang hampir serupa yaitu roh atau jiwa.
Dapat dipahami bahwa proses komunikasi antar tokoh drama di dalam sandiwara pada dasarnya berada dalam ruang lingkup komunikasi yang besar yaitu antara pelaku pementasan dengan penonton yang menyaksikannya. Masyarakat minangkabau mengenal langgam bahasa yang dianamakan kato nan ampek (kata yang empat )  yaitu kato mandaki, digunakan untuk berbicara kepada orang yang lebih tua. Kato manurun, digunakan untuk berbahasa kepada orang yang lebih muda. Kato malereng, digunakan untuk kepada orang yang sama besar tapi tidak terlalu akrab. Kato mandata digunakan untuk berbicara kepada teman yang sama besar.
Berdasarkan hal tersebut, setidaknya ada dua hal yang dijadikan tolak ukur bagi seorang pemeran untuk melakukan improvisasi, yaitu memberikan inti pembicaraan dan mengenali lawan bicara. Satu hal yang perlu mendapatkan perhatian berkenaan dengan pementasan sandiwara adalah cara skema formulaic bagi pemeranan digunakan untuk mengatasi pementasan sandiwara yang berlangsung beberapa malam dengan cerita yang berbeda.
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa aspek pemeranan menegaskan fungsi memori dalam dramaturgi sandiwara sebagaimana juga terlihat dalam ranah penulisan lakon dan penyutradaraannya. Bisa semua kita pahami bahwa kecendrungan praktik dalam sandiwara untuk memproduksi berbagai aspek pengalaman membuat kerja memori menjadi lebih signifikan. Memori sendiri didefinisikan sebagai varietas yang terdiri dari berbagai proses, struktur, dan sistem pengalaman dan peristiwa pada satu waktu mempengaruhi tingkah laku seseorang.
Mempertontonkan sebuah latihan sandiwara kepada masyarakat adalah satu tirk pelaku sandiwara untuk merebut simpati dari penonton, menghimpun rasa keingintahuan dan penasaran mereka dan akhirnya menjamin peristiwa pementasan menjadi peristiwa yang penting dan dinanti-nantikan. Artinya, mempertontonkan proses latihan pada dasarnya adalah merupakan sebuah upaya yang intensif untuk menggalang minat penonton.
Konsep penampilan biasanya digunakan juga oleh masyarakat penikmat seni untuk mewakilkan perasaannya, seperti “penampilannya kurang meyakinkan”. Hal itu menunjukkan bahwa terdapat konsep kelayakan yang biasa digunakan dalam kehidupan sosial kultural yang diterapkan pula dalam pementasan. Pada pementasan sandiwara, selain teks suara atau bunyi, teks tubuh, teks rupa ternyata juga ada teks lain yang tampil yaitu teks-teks yang umumnya dipandang sebagai suatu teks yang tidak artistic.
Para penonton dari sebuah sandiwara tetap menonton pementasan sandiwara meski semua yang akan dipentaskan telah mereka tonton melalui latihan karena beberapa hal, yaitu karena ingin menyaksikan tontonan (spectacle) yang sesungguhnya dengan kata lain ingin menyaksikan pertunjukan utuh dengan kostum dan dekor panggung yang sesungguhnya. Hal lainnya yaitu harapan untuk mendapatkan aspek kejutan( surprise) dari pementasan. Hal itu dapat diperoleh dari kreatifitas para pemeran yang mampu memproduksi kata-kata yang menarik bagi penonton. Lajut dari itu mereka juga dapat melakukan gerak-gerak yang menunjukkan kualitas keterampilan mereka sebagai seorang aktor.
Berdasarkan hal di atas dapatlah kita simpulkan bahwa aspek yang paling ingin diperhatikan oleh penonton dari menonton pertunjukan adalah yang berkenaan dengan pemeran, mereka akan cendrung lebih memperhatikan apa-apa yang dilakukan oleh para aktor di atas pentas dibandingkan dengan menyaksikan set atau dekor panggung itu sendiri. Kemampuan dan keterampilan si pemeran kemudia yang membuat ia mendapatkan sebagai predikat bintang  dari penonton sehingga dalam pengertian tertentu, pemeran dalam sandiwara lebih merupakan tokjoh yang ilmiah.
Simpati atas carito dapat dilihat sebagai bagian dari pengajaran yang dapat diambil dari sebuah cerita, salah satu konsep penting di balik pementasan sandiwara yang acapkali digarisbawahi oleh pelaku maupun penonton. Artinya, dengan menilai secara kritis pemeranan maupun cerito, penonton diharapkan belajar bersimpati dengan orang lain dan pada saat yang sama melakukan telaah agar peristiwa itu tidak terjadi atau terulang.
Konsep sandiwara seperti ini juga digunakan dalam lawak. Dimana di dalam lawak, hal yang menjadi lawakanny adalah hal-hal yang dekat dengan situasi penonton, artinya penonton di ajak untuk menelaah tentang hal-hal yang dekat dengan mereka. Artinya penonton di ajak untuk membuat analisis terhadap peran yang di bawakannya. Dengan kata lain, baik unsur cerito atau lawak dalam sandiwara bertujuan  untuk menyindir penonton sesuai konsep yang diyakini bersama. Sindiran itu dilakukan dengan perkataan orang yang membuat jarak seolah-olah semua yang terjadi adalah hal yang dilakukan oleh orang lain.
Drama poskolonial, pada dasarnya berarti sebagai drana yang terlahir setelah zaman pendudukan oleh bangsa colonial. Dengan demikian, drama seperti ini dapat didefinisikan melalui dua cara, yaitu pertama, seni-seni dramatic yang tumbuh dan berkembang setelah berakhirnya kolonialisme. Kedua adalah seni dramatic yang berurusan dengan efek berkelanjutan kolonialisme di daerah yang pernah dijadikan koloni yang kemudian bersinggungan pula dengan kolonialisme.
Hadirnya sandiwara di tenah masyrakat minangkabau seperti memberikan pengaruh  dan dapat dipandang sebagai suatu bentuk artistic yang baru dan menggeser kesenian yang ada sejak lama seperti randai. Namun sejarah seni dramatic di sumatera barat mengatakan kalau sandiwara bukanlah hal yang baru sama sekali, melainkan daur ulang dari seni dramatic yang ada pada masa colonial. Yang artinya bahwa sandiwara sebagai satu artistic yang diperbaharui  itu berakar dari gesekan masyarakat dengan zaman colonial di masa lalu.
Sandiwara dan teater merupakan perkembangan dari entitas yang sama, yaitu teater barat, yang dengan itu dapat dibedakan dengan pertunjuka-pertunjukan yang tradisional. Tampak pula bahwa penggunaan istilah tonil , sandiwara dan teater pada dasarnya menunjukkan perkembangan seni dramatic di indonesia secara diakronis. Terindikasi pula bahwa budaya sandiwara tumbuh dalam interaksi antara berbagai anasir seni dramatic dengan tujuan, pola dan gaya yang dipengaruhi oleh semangat zaman masing-masing. Oleh karena itulah, dalam beberapa segi, teori perkembangan istilah dalam seni seni dramatic di indonesia seperti sandiwara juga berlaku hukumnya. Namun perlu dicermati bahwa hal itu bukan sekedar perkembangan istilah, melainkan indikasi bahwa sandiwara merupakan bagian dari hibridasi, yaitu pembauran beberapa tradisi pementasan seni dramatic.
Berdasarkan hal tersebut, kelahiran sandiwara sebagai strategi artistic yang diperbaharui dalam masyarakat minangkabau menunjukkan beberapa hal sebagai latar belakangnya, yaitu pertama, sebagai respons atas kondisi sezaman, sandiwara adalah pantulan dari kesadaran akan adanya realitas kehidupan baru, yakni kehidupan modern. Realitas baru tersebut ditandai pula dengan hadirnya kehidupan bernegara yang merupakan konsekuensi logis dari poskolonialitas atau berakhirnya praktik kolonialisme, kedua kondisi sosial kultural yang baru itu membutuhkan sautu seni dramatic baru pula yang dapat mengakomodasikan semua kebutuhan masyarakat, yaitu hiburan, keberlanjutan tradisi, sekaligus pencerahan. Atas dasar itu, dipilihnya sandiwara sebagai seni dramatic yang kemudian dikembangkan bersama menjadi masuk akal. Bukan saja karena sandiwara sejak semula merupakan hibrida dan sinkretis, namun juga karena potensinya untuk menyerap berbagai anasir seni dramatic yang lebih baru. Atas dasarnya inilah kiranya sandiwara lahir dan berkembang menjadi teater rakyat dalam masyarakat minangkabau.
Penggunaan pentas dalam sandiwara dapat dikatakan vital karena menjadi pembeda antara kesenian ini tradisional minangkabau lainnya. Hal ini dapat dibaca dengan membandingkan sifat-sifat yang terdapat pada pentas sandiwara tersebut dengan kesenian tradisional lainnya. Hal ini dapat di baca dengan membandingkan sifat-sifat yang terdapat pada pentas sandiwara tersebut dengan dua tempat pertunjukan tradisional minangkabau, yaitu laga-laga dan pemedanan.
Meskpun kedua tempat tersebu terlihat berbeda secara fisikal akan tetapi terdapat sifat-sifat yang dapat dilihat sebagai gabungan antara keduanya. Pertama, laga-laga maupun pemedanan merupakan pentas arena yang pertunjukan ada di tengah tengah penonton. Dengan demikian penonton dapat dengan bebas melihat pertunjukan dan mencari sudut pandang yang disukai. Kedua, konsekuensi dari yang pertama, sifat tontonan menjadi akrab dengan penontonnya sehingga tidak ada jarak antara pertunjukan dan penonton, Cuma sebatas garis imajiner yang memisahkan keduanya.
Perbandingan dengan kedua tempat pertunjukan tradisional itu memperlihatkan bahwa pada tataran yang paling mendasar, kehadiran pentas dalam sandiwara telah memperkenalkan konvensi tontonan modern, yakni dunia tontonan dan dunia penontonnya dibedakan secara lugas. Kehadiran pentas dalam tradisi sandiwara dapat dilihat sebagai pengaruh utama dari tonil dan opera melayu. Sebagai implikasi dari perkenalan dengan pentas itu, sandiwara kemudia menjadi ruang pula untuk berkenalan dengan teknologi pentas yang bukan saja meniru hal-hal yang sebelumnya, namun juga memilih dari perangkat-perangkat yang ada kemudian. Hal itu, misalnya, jelas terlihat dengan digunakannya alat pengeras suara dan akhirnya perangkat band. Hal-hal terakhir ini tidak dapat dikatakan sebagai warisan opera melayu maupun tonil sehingga modernisasi dalam sandiwara tidak melulu dapat diartikan sebagai peniruan terhadap budaya colonial , namun juga memilih suatu kebudayaan yang baru.
Logika modern  dapat pula dibaca pada teknik –teknik pementasan sandiwara, misalnya tablo yang digunakan sebagai bagian dari perkenalan drama. Besar kemungkinan teknik ini merupakan transformasi dari sebuah bentuk pementasan dalam bentuk komedie stambul, semacam pertunjukan penutup yang menampilkan adegan-adegan statis oleh para artis.
Konvensi pementasan sandiwara yang dibagi menjadi babak dan selingan jelas merupakan sebuah indikasi dari dikenalnya disiplin pementasan. Hal itu dapat dikaitkan dengan ciri-ciri unikum teater barat dan teater timur . Modernitas dalam sandiwara dapat dilihat lebih jelas dari seghi bahasa, yakni dengan digunakannya bahasa nasional dalam beberapa cerita. Dengan demikian sandiwara menjadi transisi bagi seni pertunjukan tradisional minangkabau menuju bentuk yang lebih modern. Dari kesenian tradisi, sandiwara berubah menjadi kesenian yang politis tanpa kehilangan aspek-aspek tradisionalnya.  Konsep penampilan dalam sandiwara di satu sisi mendorong terjadi pemilahan unsur-unsur seni yang dipertunjukkan, disisi lain, memberi kemungkinan untuk terjadinya intesifikasi bagi para pasrtisipan sandiwara untuk lebih focus pada masing-masing unsur seni sesuai minat dan bakt masing-masing. Arti yang lebih jauhnya, konsep penampilan ini memberi kebebasan untuk memilih spesifikasi dan kompetensi yang dapat dipandang sebagai dasar profesionalitas dalam seni pementasan masyarakat minang.

Pergeseran zaman dan hilangnya pesona randai.


Randai merupakan kesenian tradisional khas dari daerah Minangkabau, Sumatera barat. Kesenian ini sudah ada sejak zaman colonial Belanda, dan terus berkembang sampai zaman sekarang ini. Randai sebagai salah satu bentuk kesenian rakyat, hidup dalam kehidupan rakyat. Randai dimainkan oleh dan untuk rakyat itu sendiri. Randai hidup bersama tradisi yang berlaku dalam masyarakatnya. Randai pada awalnya berangkat dari permainan yang pada zaman dahulunya dilakukan oleh masyarakat pada malam hari, setelah seharian lelah beraktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidup.
            Kesenian rakyat seperti randai memiliki konsep pertunjukan yang dekat dengan penonton. Aksi dan interaksi pemain dan penonton terjalin dengan baik. Pertunjukan randai memang selalu ditampilkan seakrab mungkin, sehingga penonton yang menyaksikannya merasa rileks dan tidak tegang. Suasana pun terbangun oleh kedekatan emosional secara kekeluargaan. Kesenian Randai biasanya ditampilkan dalam perayaan suatu alek nagari seperti pengangkatan seorang penghulu, festival-festival kesenian, maupun acara-acara pesta pribadi yang di buat oleh masyarakat.
            Salah satu penampilan randai yang patut diacungi jempol adalah penampilan dari kelompok randai Puti nan manih di nagari padang lawas, kabupaten lima puluh kota, Sumatera barat ( 23/5). Penampilan yang diadakan dalam rangka mengisi acara dalam pesta sunatan rasul salah seorang warga ini sangat menghibur penonton yang hadir ke acara tersebut. Semua penonton yang didominasi oleh orang tua ini, selalu semangat dan antusias menyaksikan para pemain randai menunjukkan kebolehannya. Pertunjukan randai yang dimulai dari pukul Sembilan malam tersebut, memang menarik banyak masyarakat untuk mengapresiasinya, akan tetapi dari sekian banyak penonton yang hadir, terdiri dari orang tua dan keluarga pelaku pesta. Lalu dimanakah kaum muda ??
            Perkembangan zaman yang semakin cepat dan arus modernisasi yang sangat sulit dihadang dan dikendalikan menjadi penyebab utama “larinya kaum muda dari randai. Banyaknya hiburan-hiburan yang sifatnya lebih modern dan hadirnya media-media elektronik yang super canggih menghadirkan ironi tersendiri bagi kesenian tradisional kita. Para anak muda lebih suka menyaksikan acara-acara di televise dan main game online di warnet daripada berdingin-dingin menyaksikan randai.
            Eksistensi randai yang semakin menurun di dalam masyarakat mendatangkan sebuah ironi tersendiri bagi kita semua.  Walau bagaimanapun juga, randai merupakan kekayaan kesenian Minangkabau yang perlu dipertahankan keasliannya, sehingga pada tahap perkembangannya randai diharapkan mampu memunculkan bentuk baru tanpa mengurangi esensi dan estetika yang sudah terkandung di dalamnya. Akhirnya persoalan yang muncul adalah minat terhadap kesenian tradisional khususnya randai jadi terganggu akibat hebatnya pengaruh teknologi media komunikasi baik media massa maupun elektronik yang tidak mampu lagi memberikan motivasi kepada kaum muda untuk lebih memperhatikan kesenian sendiri, khususnya kesenian tradisional seperti randai.
            Hal tersebut di atas ternyata tidak berpengaruh kepada kelompok randai puti nan manih, meskipun penonton yang datang menyaksikan pertunjukan mereka di dominasi oleh orang tua, mereka tetap semangat melakukan pertunjukan tersebut. Semangat yang mereka tunjukkan sungguh sangat luar biasa, dengan cuaca yang sedikit gerimis pertunjukan pun dapat berjalan dengan lancer dari awal sampai akhir.
 “ hujan sedikit kan gak papa, lagian gak mempengaruhi pergerakan. Tapi sedikit berpengaruh kepada tapuak galembong nya. Tapi amat disayangkan, pertunjukan ini hanya ditonton oleh orang tua dan anak-anak kecil. Tapi ya itu tadi, kita gak terpengaruh juga akan hal tersebut lagian kan kita nampil juga dibayar, jadi dibawa enjoy aja.” Tegas salah seorang pemain randai.
            Kurangnya minat para generasi muda terhadap randai, bukanlah hal yang baru terjadi. Hal tersebut sudah terjadi sejak media elektronik memasuki Minangkabau. Menyikapi hal ini, bagi generasi muda khususnya di minangkabau pada zaman sekarang seharusnya tetap memiliki pemahaman bahwa randai merupakan salah satu identitas budaya Minangkabau dan perlu dipertahankan keberadaannya agar tidak punah dan hilang ditelan zaman. Pergeseran minat generasi muda ada kaitannya dengan perubahan selera menonton kesenian tradisional seperti randai. Apalagi dengan diciptakannya media elektronik seperti televise, yang mampu menyiarkan beragam bentuk siaran baik yang bermuatan local maupun yang menglobal. Kebiasaan keluar rumah, duduk di tempat seadanya dan menghirup udara dingin pada malam hari untuk menonton randai di perhelatan perkawinan kini kurang diminati oleh masyarakat khususnya generasi muda.
            Tidak adanya pelajaran tentang randai di sekolah-sekolah merupakan sebab lain kurang nya minat generasi muda terhadap kesenian yang sudah menjadi identitas budaya ini. Hal tersebut berdampak buruk bagi, mengingat masih banyaknya anak muda yang sama sekali tidak tahu akan kesenian ini. Jika mereka tahu saja tidak, maka mustahil mereka akan menyukai dan melestarikannya. Dengan demikian, sudah seharusnya hal ini menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah hendaknya memasukkan randai ke dalam kurikulum sekolah, agar para generasi muda tersebut bisa mengenal dan mengetahui apa itu randai. Masyarakat di minangkabau hendaknya juga mengerti betapa pentingnya melestarikan kesenian ini, pesan-pesan yang dihadirkan di dalam permainan randai sungguh lebih bermanfaat dari pertunjukan orgen tunggal. Maka sudah sepatutnya bagi masyarakat, apabila mengadakan pesta hendaknya menghadirkan kesenian randai bukannya orgen tunggal lagi. Dan bagi para seniman randai, hendaknya juga tidak berpengaruh terhadap kemajuan zaman dan teknologi yang semakin menyudutkan profesinya. Seperti yang telah dilakukan oleh kelompok randai puti nan manih tersebut. Meskipun pertunjukan mereka hanya ditonton oleh mayoritas orang tua, mereka dapat melangsungkannya sampai akhir dengan semangat.