Minggu, 01 Juni 2014

DAFTAR ISTILAH-ISTILAH DALAM BUKU DRAMATURGI SANDIWARA



·         Modernisasi : proses, cara, perbuatan memodernkan; menjadikan, menyebabkan,    membuat menjadi modern.
·         Modern : istilah rakyat minangkabau untuk modern
·         Melodrama : sebuah genre lakon yang menggabungkan unsur-unsur emosional dengan pembahasan isu-isu sosial, seringkali dengan menggunakan musik untuk membangun berbagai suasana
·         Mimik : semula berarti meniru; dalam sandiwara berarti raut atau ekspresi wajah seorang pemeran
·         Mimikri : salah satu terma yang penting dalam kajian poskolonial yang dapat diartikan sebagai proses ketika masyarakat (mantan) terkoloni menyalin budaya, perilaku, dan nilai-nilai dari penguasa colonial; istilah ini dipopulerkan oleh homi K. bhaba
·         Colonial : berhubungan dengan sifat-sifat jajahan, pemerintah; orang atau Negara yang menganut paham atau mempraktikkan kolonialisme; penjajah.
·         Kolonialisme : penguasaan oleh suatu bangsa atau Negara atas daerah atau bangsa lain dibarengi dengan perpindahan penduduk
·         Legaran : istilah dalam randai, yang merujuk pada formasi melingkar para pemain yang bergerak berputar melakukan gerakan-gerakan, atau duduk melingkari sebuah peristiwa adegan
·         Efek alinasi : konsep pemeranan yang menekankan perlunya “jarak kritis” antara pemeran dengan perannya; diperkenalkan oleh berthold brecht
·         Etude : bahan latihan dasar
·         Etnodrama : seni dramatic yang khas dari komunitas tertentu
·         Etnodramaturg : dramaturg bagi etnodrama
·         Etnodramaturgi : ilmu yang mempelajari konvensi drama dan teater; konvensi-konvensi yang berlaku dalam suatu tradisi drama dan teater
·         Gestik : gerak tubuh
·         Hegemoni : cara yang dipakai untuk menyampaikan ideology (gagasan) tertentu sehingga ideology itu dipercaya kebenarannya; dipopulerkan oleh Antonio Gramsci dan dibawa ke dalam kajian poskolonial oleh Edward said
·         Hybrid : istilah yang dipinjam dari ranah hortikultur yang merujuk pada persilangan atau perkawinan antara dua spesies untuk menghasilkan spesies ketiga, yaitu spesies hibrida
·         Hibridasi : proses terciptanya hal yang hybrid
·         Hibriditas : hal (keadaan) hybrid; kondisi yang hybrid yang seringkali digunakan pula untuk menggambarkan “pertukaran” silang budaya
·         Indigenus : salah satu terma dalam diskursus poskolonial untuk mengatakan masyarakat asli; berasal dari kata dalam bahasa prancis, indigenes, yang setara artinya dengan kata native dalam bahasa inggris dan inlander yang digunakan colonial belanda untuk menyebut masyarakat pra indonesia
·         Indische romans : roman hindia, terma ini digunakan untuk menyebut beberapa novel populer di zaman colonial belanda
·         Kanonisasi : karya-karya tertentu yang dianggap “baik” dan memenuhi standarisasi sastra yang sendirinya meletakkan karya sastra lain sebagai karya yang tidak baik menurut standarisasi itu
·         Modernism : paham tentang komedernan
·         Modernitas : hal (keadaan) modern; tercapainya kondisi modern
·         Opera melayu : seni pertunjukan yang menggabungkan unsur drama, tarian, dan musik; sebutan untuk seni dramatic yang berkembang di  usantara pada awal abad ke-20
·         Operetta : jenis hiburan populer di Amerika yang sering dikatakan sebagai versi ringan dari opera; di Indonesia lebih dikenal dengan operet
·         OPR : akronim dari organisasi perlawanan rakyat, sebuah organisasi yang didirikan pemerintah RI di Sumatera barat dalam rangka memadamkan gerakan PRRI
·         Parodi : genre lakon yang dapat dipandang sebagai turunan dari komedy yang berarti suatu tiruan dari karya serius atau gaya khas dari penulis tertentu dengan cara yang konyol; sebuah parody biasanya mengadopsi gaya dari karya yang asli dan mengaplikasikannya pada hal-hal yang tidak sesuai untuk mendapatkan efek lucu; parody juga merupakan bentuk satir dan bisa dianggap sebagai gaya sastra yang setara dengan karikatur atau kartun
·         Poskolonial : secara harfiah berarti setelah colonial, namun juga berarti melampaui apa yang ada dibalik praktik colonial; sering diIndonesiakan sebagai pasca colonial
·         Poskolonialisme : disiplin yang memfokuskan diri pada kajian-kajian tentang masyarakat-masyarakat mantan koloni yang memasuki kolonialisme; juga berarti kajian yang melampaui kolonialisme, dengan pegertian melihat apa yang ada di balik praktik kolonialisme beserta warisan-warisannya
·         Poskolonialitas : berlangsungnya kondisi poskolonial dalam suatu masyarakat. Seringkali diIndonesiakan sebagai pascakolonialitas
·         Prosesnium : konvensi panggung berbentuk lubang segiempat pada sebuah dinding. Dimana dinding tersebut berfungsi sebagai dinding keempat dari ruang yang tercipta pada lubang itu
·         Realisme : sebuah aliran dalam seni yang berkembang di Eropa yang meletakkan dasar kreativitasnya pada observasi dan ilmu pengetahuan, dengan asumsi bahwa manusia dapat menguasai alam
·         Refleksivitas : (1) itu sendiri serta sumber pengetahuan dari subyek yang tengah diteliti, dan (2) hermeneutika, yaitu teori dan praktik penafsiran, tetapi juga sebagai interpretasi atas interpretasi
·         Ritus : peristiwa; upacara; dalam kajian tata cara dalam upacara beragama
·         Roman : karangan berbentuk prosa yang melukiskan perbuatan-perbuatan pelakunya menurut watak da nisi jiwanya masing-masing; dalam bahasa minangkabau berarti ‘raut muka’
·         Roman picisan : cerita roman yang dianggap rendah mutunya karena hanya berisi cerita percintaan saja
·         Romantisisme : sebuah aliran dalam seni yang berkmebang di Eropa yang percaya pada intuisi dan bakat alam sehingga manusia pada dasarnya adalah bagian saja dari dinamika alam; atau dengan kata lain dikuasai oleh alam
·         Satir : karya seni yang menggunakan sindiran, ejekan, humor, dan kecerdasan untuk mengkritik dan memprovokasi perubahan sifat dalam diri manusia dan atau sebuah lembaga
·         Selingan : bagian pementasan sandiwara selain babak
·         Sindrom colonial : penyakit mental yang ditimbulkan kolonialisme terhadap masyarakat yang dijadikan koloni
·         Sinkretik : istilah yang dipinjam dari kajian religi yang dalam kajian poskolonial digunakan untuk mengidentifikasi penggabungan atau fusi dari dua atau lebih tradisi berbeda untuk menciptakan suatu tradisi yang baru dan berbeda dengan sebelumnya
·         Sinkretisasi : proses terciptanya hal yang sinkreatis
·         Sinkreatisitas : kondisi yang dihasilkan oleh proses sinkreatis
·         Skema : bagian;denah;rangka;kerangka;rancangan;garis besar
·         Tablo : semacam adegan statis tanpa dialog yang ditujukan untuk menggmbarkan tema tertentu
·         Tambo : semacam mitos yang dipandang sejarah lisan tentang asal-usul orang Minangkabau beserta adat-istiadatnya
·         Tonil : drama, teater, sandiwara; berasal dari bahasa belanda, toneel atau tonnel
·         Transkultur : terma dalam kajian psokolonial untuk menggambarkan pada proses saling mempengaruhi dalam hal cara representasi dan praktik budaya antara masyarakat koloni dengan pemerintah colonial
·         Transkulturasi : proses terjadinya transkultur
·         Well made play : lakon yang dibuat sebaik-baiknya yang mampu mencerminkan realitas manusia, disokong oleh metode pemeranan yang sanggup menggambarkan hidup sesungguhnya; pertama kali dirumuskan oleh seorang aktor prancis, Eugen scribe, dalam bahasa prancis sebagai ‘piece bien faite’
·         Agensi : subjek dalam teori poskolonial yang mengacu pada kemampuan untuk melakukan tindakan dalam melakukan atau menentang kekuasaan yang dominan
·         Ambivalensi : sikap yang mendua dari subjek poskolonial, antara mengagumi dan membenci penjajahnya
·         Anak tonil : sebutan untuk para pemain sandiwara oleh masyarakat; terkadang digunakan saling menggantikan dengan sebutan’anak sandiwara’
·         Anasir : unsur pokok atau zat pokok, bisa pula berarti benda
·         Anasir poskolonial : unsur-unsur budaya yang telah dimiliki suatu bangsa sebelum datangya kolonialisme
·         Bioscoop romans : sebutan untuk cerita-cerita yang ditampilkan oleh film di zaman colonial
·         Diskursus : pengetahuan; wacana
·         Disposisi : kecendrungan selera
·         Drama poskolonial : seni dramatic yang seni tumbuh dan berkembang setelah berakhirnya kolonialisme; seni-seni dramatic yang berurusan dengan efek berkelanjutan (continuing effects) kolonialisme dan perkembangan mutakhir kolonialisme, yaitu neokolonialisme; seni dramatic yang merupakan bagian dari proses pembebasan dari sindrom colonial
·         Dramaturgi : ilmu yang mempelajari konvensi drama dan teater; konvensi-konvensi yang berlaku dalam suatu tradisi drama dan teater

ISTILAH-ISTILAH DALAM BUKU KRITIK dan MEDIASI SENI



·         Kritik :  satu penilaian yang menggambarkan baik buruknya sesuatu hal
·         Kritikos : membandingkan, memisahkan, membandingkan, mengamati, memisahkan
·         Krites : menghakimi
·         Penonton : orang yang menyaksikan pertunjukan, penikmat dari sebuah seni
·         Akting : berpura-pura; memerankan, meniru
·         Aktor : pemeran dalam sebuah cerita
·         Etika : berhubungan dengan nilai moral; penilaian berdasar nilai moral
·         Estetika : berhubungan dengan keindahan
·         Logika : berhubungan dengan akal sehat; penilaian berdasar akal sehat
·         Adegan : kesatuan peristiwa di dalam pementasan drama, yang ditandai dengan perubahan situasi, suasana, atau perubahan topic pembicaraan
·         Fenomena : kejadian, perwujudan, gejala; hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindera dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah; hal yang menarik perhatian atau luar biasa sifatnya
·         Hybrid : istilah yang dipinjam dari ranah hortikultur yang merujuk pada persilangan atau perkawinan antara dua spesies untuk menghasilkan spesies ketiga, yaitu spesie hibrida
·         Modernisasai : proses, cara, perbuatan memodernkkan, menjadikan, menyebabkan, membuat, menjadi modern
·         Lakon : drama, naskah drama
·         Realisme : sebuah aliran dalam seni yang berkembang di Eropa yang meletakkan dasar kreativitasnya pada observasi dan ilmu pengetahuan, dengan asumsi bahwa manusia dapat menguasai alam
·         Actor : Pemeran yang memerankan watak orang lain dalam suatu pembuatan film/drama
·         Action : Gerak seorang pemeran di atas pentas dalam program sandiwara Televisi dan Film, perintah seorang sutradara kepada pemeran untuk segera bergerak melakukan perannya
·          Angle shot :  Shot sudut, perekaman gambar sebuah objek kamera film atau film Televisi dari sudut yang luar biasa, misalnya dari bawah secara ektrim atau dari atas
·         LOCATION: Semua tempat selain studio atau panggung yang digunakan untuk shooting.
·         EYELINE: Garis pandang orang ketika melihat sesuatu
·         DIRECTOR (NEWS): Orang yang bertanggungjawab untuk transmisi dari ruang kontrol. Mungkin juga terlibat dalam pra pengemasan cerita.
·         Kanonisasi : karya-karya tertentu yang dianggap “baik” dan memenuhi standarisasi sastra yang sendirinya meletakkan karya sastra lain sebagai karya yang tidak baik menurut standarisasi itu
·         Parodi : genre lakon yang dapat dipandang sebagai turunan dari komedy yang berarti suatu tiruan dari karya serius atau gaya khas dari penulis tertentu dengan cara yang konyol; sebuah parody biasanya mengadopsi gaya dari karya yang asli dan mengaplikasikannya pada hal-hal yang tidak sesuai untuk mendapatkan efek lucu; parody juga merupakan bentuk satir dan bisa dianggap sebagai gaya sastra yang setara dengan karikatur atau kartun
·         Prosesnium : konvensi panggung berbentuk lubang segiempat pada sebuah dinding. Dimana dinding tersebut berfungsi sebagai dinding keempat dari ruang yang tercipta pada lubang itu
·         Romantisisme : sebuah aliran dalam seni yang berkmebang di Eropa yang percaya pada intuisi dan bakat alam sehingga manusia pada dasarnya adalah bagian saja dari dinamika alam; atau dengan kata lain dikuasai oleh alam
·         Tambo : semacam mitos yang dipandang sejarah lisan tentang asal-usul orang Minangkabau beserta adat-istiadatnya
·         Well made play : lakon yang dibuat sebaik-baiknya yang mampu mencerminkan realitas manusia, disokong oleh metode pemeranan yang sanggup menggambarkan hidup sesungguhnya; pertama kali dirumuskan oleh seorang aktor prancis, Eugen scribe, dalam bahasa prancis sebagai ‘piece bien faite’
·         Dramaturgi : ilmu yang mempelajari konvensi drama dan teater; konvensi-konvensi yang berlaku dalam suatu tradisi drama dan teater
·         Anak tari : penari
·         Anak musik : orang yang bermain musik dalam sebuah pementasan
·         Agensi : subjek dalam teori poskolonial yang mengacu pada kemampuan untuk melakukan tindakan dalam melakukan atau menentang kekuasaan yang dominan
·         Kontemporer : drama teater yang menggunakan tubuh sebagai pokok penyampai pesan;
·         Melodrama : sebuah genre lakon yang menggabungkan unsur-unsur emosional dengan pembahasan isu-isu sosial, seringkali dengan menggunakan musik untuk membangun berbagai suasana
·         Randai : sebuah pertunjukan yang menggabungkan usur-unsur gerak (dinamakan galombang), nyanyian (disebut dendang), dan cerita tradisional (disebut kaba) yang bisa dilihat sebagai perkembangan dari silek (silat) dan mencak (pencak)
·         Silek : silat tradisional minangkabau
·         Seni-seni dramatic : cabang seni yang menjadikan tingkah laku manusia sebagai poko tontonannya
·         Teater rakyat : seni teater yang berkembang pesat di masyarakat; seni teater yang merupakan bentuk kesadaran politik rakyat sebuah Negara bangsa; terkadang dinamakan pula “teater populer”
·         Urang seni : sebutan oleh masyarakat minangkabau untuk orang yang memiliki bakat dan keterampilan seni
·         Legaran : istilah dalam randai, yang merujuk pada formasi melingkar para pemain yang bergerak berputar melakukan gerakan-gerakan, atau duduk melingkari sebuah peristiwa adegan
·         Indang : jenis seni pertunjukan yang menggabungkan keindahan gerak (gerak-gerak yang dianggap mirip tari shaman), bunyi (dengan alat musik rapai), dan terutama sastra lisan yang berisikan ajaran-ajaran agama islam
·         Kaba : sastra lisan minangkabau senantiasa diperdebatkan yang berpusat pada apakah kaba adalah cerita asli minangkabau atau bukan; namun, perdebatan itu tidak menghilangkan fakta bahwa kaba demikian populer dalam masyarakat minangkabau dan diafirmasi sebagai tradisi sendiri
·          Audio: suara – bagian dari program pertelevisian
·         “ACTION!”: aba-aba sutradara untuk memulai shooting

Minggu, 25 Mei 2014

REVIEW BUKU KRITIK dan MEDIASI SENI


Kritik adalah suatu kata yang sudah sangat sering kita dengar dan kita jumpai dimanapun. Kritik dapatlah kita sebut sebagai kriteria dari satu penilaian yang menggambarkan baik buruknya sesuatu hal. Kata kritik sendiri berasal dari bahasa inggris yaitu kritikos ataupun bahasa yunani krenein yang dapat kita artikan: memisahkan, membandingkan, mengamati atapun menimbang. Kata kritik sendiri sudah sangat lama digunakan oleh orang-orang pada masa lampau, hal tersebut dapat kita buktikan dengan istilah-istilah yang dipakai oleh orang yunani kuno (krites atau menghakimi).
            Sebuah kritik dapat digunakan sebagai media penyampai pesan atau gagasan kepada orang lain. khusus dalam bagian seni, kritik digunakan untuk mengevaluasi sebuah karya, menggambarkan baik atau kurang baiknya sebuah karya ataupun untuk menyampaikan kekurangan dan kelebihan dari suatu karya seni. Seiring dengan cepatnya perkembangan zaman, maka akan terjadinya pula pergeseran nilai yang mau tidak mau akan menimbulkan suatu permasalahan dari masyarakat penikmat seni hingga nantinya akan memberikan sebuah ide kepada seorang seniman untuk dapat menampilkan sebuah karya yang benar-benar disukai atau dinikmati oleh masyarakat pada saat ini. Dalam hal ini kritik akan membantu memberikan masukan kepada seniman pengkarya dengan memberitahukan mana yang disukai dan mana yang kurang disukai oleh penonton.
            Pada awalnya, kritik seni menjadi suatu hal yang diperdebatkan karena banyaknya aliran atau cara seorang kritikus mengkritik suatu karya sehingga lahir anggapan bahwa sebuah kritik seni kehilangan arah dan fungsinya. Karena hal tersebut, Osborne mengatakan bahwa kritik itu adalah kerancuan dan sebuah kesimpang siuran.  Seorang kritikus haruslah mampu memberikan penilaian terhadap sebuah karya seni yang dinilainya, baik berupa kejelekan maupun kebaikan seta membandingkannya dengan karya seni yang lain. Oleh karena hal tersebut, seorang kritikus haruslah memiliki pemahaman dan pengetahuan terhadap hal yang dikritiknya, sehingga dapat melahirkan suatu kejelasan terhadap evaluasi sebuah karya seni.
            Sebuah karya seni tidak bisa dipisahkan dari elemen pendukungnya seperti seniman dan penonton. Ketiga hal tersebut memiliki ikatan kuat yang tidak bisa dihilangkan salah satunya karena ketiga hal tersebutlah yan memungkinkan sebuah seni hidup di dalam masyarakat. Karya seni merupakan sebuah ide ataupun pertunjukan yang dibuat oleh seorang seniman yang tujuannya untuk dipertontonkan kepada masyarakat. Dengan demikian, masyarakat yang datang untuk menyaksikan pertunjukan tersebut (penonton) dapat menikmati pesan-pesan serta hiburan yang diberikan oleh sebuah karya seni. Penonton seni yang baik akan selalu haus dengan ragam pengalaman estetik yang dikupas secara mendalam dengan ikatan emosional yang ada di dalam sebuah karya.
            Di dalam sebuah kritik seni memiliki tipe dan struktur. Tipe kritik seni berupa:  kritik jurnalistik yang merupakan sebuah ulasan kritik yang di sampaikan kepada masyarakat melalui media massa khususnya surat kabar. Biasanya kritik ini menggambarkan sebuah karya seni berupa ulasan singkat yang dapat menjadi pengganti pengalaman visual bagi pembacanya. Kritik jurnalistik sangat mudah dicerna karena tidak berisi ulasan yang sistematis sehingga tidak membingungkan bagi pembaca awam. Kritik ini juga sangat cepat mempengaruhi pemikiran masyarakat, disebabkan oleh sifat media massa yang memang untuk mempengaruhi yang membacanya.
            Kritik ilmiah adalah sebuah ulasan terhadap suatu seni tertentu yang dibuat dengan susunan sistematis berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan. Oleh karena itu, tidaklah sembarangan orang bisa untuk membuat kritik ilmiah. Mereka yang mebuat sebuah kritik ilmiah haruslah orang-orang yang memang menguasai sistematika dan metode-metode dalam penulisan. Bahasa yang digunakan dalam kritik ilmiah haruslah bahasa yang tepat, jelas dan ringkas. Sehingga tidak menutup kemungkinan bagi pembaca untuk salah menafsirkannya. Kritik jenis ini menyajikan penafsiran yang bersumber dari ilmu pengetahuan maupun sebuah penelitian dan menghasilkan kebenaran yang tidak memihak. Kritik ilmiah menjangkau hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh kritik jurnalistik.
            Kritik populer adalah kritik yang hampir mirip dengan kritik jurnalistik, bedanya terletak pada ulasan yang disampaikan.  kritik jurnalistik menampilkan ulasan yang lebih dalam dan tajam, sedangkan kritik populer lebih bersifat umum yang berisi  pengenalan atau publikasi sebuah karya kepada pembacanya.
            Mendeskripsikan, menafsirkan dan menilai karya seni merupakan hal yang sangat penting dalam melihat sebuah karya seni. Karena dengan hal tersebutlah kita dapat menilai kualitas dari sebuah karya yang dipentaskan. Penulisan di media massa menggunakan sumber dari seni pertunjukan dan seni rupa yang ada di lingkungan kita. Seni pertunjukan berupa : karawitan, tari, teater dan musik. Karawitan adalah seni musik yang berupa permainan alat musik tradisional dan perkembangannya. Tari juga mencakup berbagai genre mulai dari tari tradisi dan juga tari modern. Teater juga dapat dilihat dari berbagai genre seperti tradisi, modern, realisme, absurd, teater tubuh dan lain sebagainya. seni musik lebih memainkan musik barat berdasarkan zamannya. Selain seni pertunjukan, seni rupa juga dapat dijadikan bahan untuk menulis di media massa.
            Setiap semester di institut seni indonesia padang panjang akan banyak sekali pertunjukan-pertunjukan seni maupun pameran-pameran yang dilakukan oleh mahasiswa. Akan tetapi anehnya, sangat sedikit sekali yang berani menulis di media massa tentang pertunjukan tersebut. Faktor utama yang menyebabkan hal tersebut adalah sifat malas yang dipelihara, hingga tidak tau kiat untuk menulis di media massa. Dan yang paling mungkin dari hal itu semua adalah belum terasahnya kemampuan seseorang untuk menangkap ide, memperoleh issu, ataupun kreatifitas yang belum teruji.
            Masalah kepekaan dan ketajaman dalam memperoleh issu memang tidaklah datang dengan sendirinya. Perlu dilakukan latihan yang serius dan focus untuk mendapatkannya. Setelah dilakukan latihan tersebut maka haruslah dibiasakan untuk menulis secara terus-menerus sehingga akan terbiasa melakukannya.
            Untuk memulai menulis kritik tentang sebuah seni, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengenali dan memiliki pemahaman terhadap subjek yang ditulis. Setidaknya mengenali istilah-istilah khusus yang berkaitan dengan seni yang akan ditulis. Disamping hal tersebut, memiliki referensi terhadap tulisan tersebut juga harus dimiliki, hal tersebut berguna untuk mengetahui tulisan-tulisan yang disukai oleh orang dan agar tulisan yang akan ditulis tidak ketinggalan zaman.
            Paling penting dari melakukan kegiatan menulis haruslah memiliki kemauan untuk menulis itu sendiri. Kita harus bisa melawan rasa malas yang ada dalam diri kita untuk melakukannya. Pada umumnya orang bisa menulis, akan tetapi dengan tidak adanya kemauan dan dorongan yang kuat maka hal tersebut tidak dapat terlaksana dengan baik.
             Memperoleh informasi yang dijadikan untuk bahan tulisan yang paling efektif adalah dengan menyaksikan pertunjukan atau hadir kedalam pameran seni rupa yang di hadirkan. Dengan demikian kita dapat menggali informasi tentang karya tersebut, dan menjadikannya sumber ide dari tulisan yang akan ditulis. Ketika menyaksikan suatu pertunjukan yang harus dilakukan adalah mengamati suasana, mencatat jumlah pemain, judul dan lama durasi pertunjukan. Dan untuk memperoleh informasi yang lebih akurat dan tajam maka diperlukan wawancara baik dengan seniman pengkarya ataupun dengan penonton yang hadir menyaksikannya.
            Menonton dan mengamati adalah suatu pekerjaan yang hampir mirip akan tetapi sebenarnya sangat jauh berbeda. Mengamati diperlukan tingkat focus yang tinggi terhadap detail dari pertunjukan tersebut. Yang paling penting dari hal itu semua adalah memanfaatkan indera penglihatan (visual), pendengaran ketika menyaksikan pertunjukan tersebut. Selain itu diperlukan daya ingat yang kuat dan tajam yang digunakan untuk menafsirkannya nanti ketika akan ditulis. Dalam suatu event atau festival, hal awal yang harus dilakukan adalah menanyakan informasi kepada panitia, seniman atau budayawan untuk mendapatkan informasi mengenai karya siapa yang paling bagus. Hal tersebut sangat diperlukan, karena untuk menulis di media haruslah melihat kualitas kita dalam mendapatkan informasi, sehingga jika nanti tulisan kita yang menarik maka akan diterbitkan akan tetapi jika kualitas tulisan kita tidak baik maka siap-siap untuk tidak diterbitkan.
            Karya seni memiliki aspek-aspek yang dilihatkan kepada public. Yaitu berupa keutuhan atau kebersatuan, penonjolan atau penekanan dan keseimbangan. Keutuhan yang dimaksud di sini adalah sebuah karya seni yang ditampilkan kepada masyarakat haruslah sebuah karya seni yang sempurna dengan kata lain sebuah karya yang bebas dari cacat atau kekurangan. Sedangkan penonjolan disini adalah mengarahkan perhatian penonton terhadap hal-hal tertentu.
            Para ahli berpendapat bahwa dalam sebuah karya seni harus memiliki tiga unsur yaitu etika, estetika dan logika. Etika maksudnya adalah bahwa karya seni harus berdasarkan etika secara umum maupun terhadap suatu barometer yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Estetika yakni karya seni tersebut haruslah memiliki cita rasa keindahan yang dapat dinikmati masyrakat setempat. Sedangkan dari segi logika adalah bahwa karya seni tersebut dapat diterima oleh akal sehat masyrakat.
            Setelah menyaksikan suatu pertunjukan atau pameran, tugas selanjutnya yang harus dilakukan adalah menulis hasil pertunjukan dan pemeran tersebut. Dimana tulisan yang dapat dibuat seperti feature, resensi, atau ulasan ringan, kritik. Resensi atau review lebih bersifat informative, biasanya seperti memaparkan kembali sesuatu atau sebuah masalah. Kekuatan resensi adalah pada kemampuan dari penulis untuk mendeskripsikan karya seni, seolah-olah karya seni tersebut tampak jelas dan dapat didengar oleh para pembaca. Analisis dan interpretasi terhadap karya ada dilakukan, tetapi tidak begitu dalam.
            Dalam menulis kritik karya seni, ada hal- hal yang penting yang perlu dimiliki oleh seorang kritikus, yakni kepekaan atau kemampuan teknik. Kepekaan disini yang dimaksud adalah bagaimana kemampuan seorang dalam melakukan produksi (proses penciptaan) sangat membantu seorang kritikus untuk menulisk kritik. Di samping itu, hal yang tidak kalah pentingnya untuk dikuasai adalah teknik untuk mengamati pertunjukan dan menuliskan hasil pengamatan untuk mempublikasikannya. Kemudian diperkuat dengan teknik mengkomunikasikan pikiran, pengalaman, interpretasi dan penilaian estetik dalam bentuk tulisan
            Memiliki pengetahuan terhadap subjek yang dikritisi juga merupakan hal yang amat diperlukan dalam menulis sebuah kritik. Pengetahuan terhadap objek berupa, asal-usul, sejarah dan perkembangan dan lain sebagainya. Di samping hal itu, diperlukan juga sikap kritis, dalam bentuknya yang paling dasar berupa kemampuan berfikir logis. Sikap “tidak kritis” atau tidak logis menjadi penghalang utama untuk menjadi seorang kritikus. Sementara kepekaan rasa, khususnya rasa estetis dapat membantu menyelami bagian yang menyentuh emosional dan penjiwaan atau ekspresi terhadap karya seni.
            Berbagai bentuk kreatifitas penciptaan di bidang musik dengan berbagai macam event telah banyak dilakukan di indonesia. Mulai dari penciptaan komposisi musik yang bersumber dari tradisi, intercultural, kolaborasi dan lain sebagainya. menggunakan berbagai macam alat musik seperti alat musik tradisi, alat musik barat dan medium lainnya. Namun ada satu sisi kreatifitas musik yang sampai saat ini masih belum banyak diminati yaitu kreatifitas musik dengan menggunakan media computer. Penciptaan musik di bidang ini mengarah pada pengandalan artistic musik oleh komposernya dan juga kreatifitas seperti ini belum muncul kepermukaan , baru berupa tataran pribadi bagi pembuatnya. Hal ini tentu sangat berbeda dengan kreatifitas dengan menggunakan alat musik yang sudah umum di masyarakat. Mungkin kreatifitas seperti ini hanya di peruntukkan bagi orang yang bekerja di studio-studio. Selain itu, keterbatasan teknologi dan kekurangan pemahaman terhadap teknologi tersebut membuat kreatifitas musik seperti ini belum banyak diminati oleh banyak orang.
            Hibrida dalam musik merupakan sebuah istilah yang masih samar, atau tidak familiar bagi penikmat musik ataupun orang awam. Di dalam musik, hibrida dapat diartikan sebagai pencangkokan beberapa unsur musik yang berbeda latar budaya dan karakternya, kemudian menjadi musik baru. Kecendrungan yang sering dilakukan adalah pencangkokan musik tradisi dengan musik barat yang beraliran populer, dangdut dan lain sebagainya. pencangkokan terjadi dapat saja menuju kearah yang permanen, akan tetapi ada pula yang masih dalam penjajakan seperti bongkar pasang instrument, tawar-menawar konsep musik anatara yang satu dengan yang lainnya dalam upaya mencari kecocokan musik. Selain itu ada pula usaha untuk pencangkokan musik yang menuai kegagalan.
            Kasus musik seperti ini telah banyak kita jumpai di seluruh nusantara. Beberapa musik tradisi dari daerah minangkabau telah mengalami hal seperti itu.  Seperti dendang-dendang irama saluang dikemas dalam musik disco, seperti reggae, dance-remix dan lain sebagainya. musik-musik seperti ini banayk digunakan sebagai peluang pasar di sumatera barat. Hal itu terbukti dengan tetap bertahannya label-label seperti minang record, dan nada musik record di pelantara musik minangkabau. Biasanya mereka mengikuti trend yang sedang ada pada saat ini. Namun pencangkokan musik seperti ini cenderung bersifat temporar, dan tidak berkembang atau gagal.
            Pencangkokan terhadap dendang yang beriorentasi dengan musik populer terlihat sangat sederhana, seperti saluang orgen. Pencangkokan dalam jenis ini terlihat premature dan abal-abal, karena tidak mengutamakan aspek estetik musik secara luas. Pencangkokan dalam jenis ini mempunyai prinsip asal dapat dimainkan untuk memenuhi selera hiburan masyrakat.
            Musik-musik tradisi minang yang berbasis islami pun tidak luput dari pengaruh hibrida seperti salawaik dulang. Genre musik ini sejatinya digunakan untuk menyiarkan dakwah islami di masjid dan mushalla. Salah satu dalam struktur sajiaannya berupa lagu cancan, memberikan ruang untuk hiburan yang tentunya masih dalam konteks islami. Akan tetapi yang terjadi pada masa sekarang ini adalah, ruang ini digunakan oleh parapemain salawaik dulang untuk menyanyikan berbagai lagu dan diadopsi mengikuti tempo dan cara melagukan salawaik dulang oleh pemainnya. Begitu juga dengan lagu-lagu indang piaman yang biasanya disajikan solo dan koor ala indang, kemudian di tambah dengan rapa’I (sejenis rebana kecil), baik dimainkan secara bersama atau terpisah, turut pula terimbas. Seniman-seniman musik pop minang, sudah banyak menggarap lagu indang dalam kemasan pop, dan direkam untuk komersil.
            Selain musik, seni tari juga mengalami hal yang serupa. Secara keseluruhan, kolaborasi di dalam seni tari telah membuahkan suatu kreatifitas yang nyata dengan munculnya koreografi baru. Selain dialog budaya, yang penting juga adalah telah terjadi komunikasi lintas budaya, lintas bangsa dalam suatu ikatan emosional kesenian. Meski berbagai persyaratandan persoalan yang berkaitan dengan kolaborasi masih perlu dipahami  secara mendalam, agar persentuhan budaya tidak hanya terjadi pada tataran kulit luar saja. Tetapi sampai pada jiwa atau rohnya. Tentu saja kesetaraan kemampuan teknik dan interpretasi para kolaborator terhadap materi timbal balik sangat diperlukan. Yang tidak kalah penting juga adalah ketersediaan waktu yang memadai sebuah proses.
            Contoh kritik terhadap pementasan teater ada banyak sekali terdapat di surat kabar. Salah satunya adalah pementasan tangga karya Yusril “katil”, diaman judul dari kritik tersebut adalah “menuju tangga kekuasaan: pertunjukan teater kolaboratif.” Di bagian awal kritik ini di tuliskan saja puisi yang merupakan penggalan dialog oleh para aktor. Dimana pada pementasan tangga ini merupakan karya kolaboratif yang melibatkan seniman teater, tari dan musik serta penyair sumatera barat. Gagasan karya terisnpirasi dari percaturan kekuasaan dengan bingkai demokrasi ala minangkabau ditafsir dengan situasi kekinian yang lebih universal. Ini merupakan karya teater eksploratif, tetapi minim kata-kata, mengusung Sembilan buah tangga sebagai propertinya, karya ini melibatkan Sembilan pemain yang terdiri dari tiga orang penari dan enam orang pemain teater.
            Kritik pertunjukan tangga ini menggambarkan tentang pementasan tangga. Yang dimulai dengan mengupas bagian sisi menarik dari pertunjukan tersebut. Bagian yang cukup menarik dicatat agaknya konfigurasi formasi tiga dan empat.katil mencoba menonjolkan perempuan di atas “singgasan kekuasaan”. Eksplorasi enam buah tangga yang ditegakkan dengan membentuk formasi tiga buah segi tiga sama kaki berjejer diagonal ke kiri pentas. Masing-masing tangga dipegang oleh seorang pemain. Sementara pemain (indah) menaiki tangga, mulai dari tangga belakang sampai ketangga depan. Di puncak tangga ia berdiri mengepakkan tangan dan melakukan gerak-gerak eksplorasi sambil mengucapkan teks-teks singkat.
            Yang tak kalah menarik adalah eksplorasi yang dilakukan oleh seluruh pemain dengan mengusung tangga menjelajahi setiap lini pentas. Mereka berlari mencari ruang kosong dan mengisinya silih berganti. Tampak ketegangan dan kesembrautan berpadu dengan ekspresi menyeringai di wajah mereka. Eksplorasi ini dilanjutkan dengan menghentakkan tangga ke lantai sambil membentuk lingkaran. Seolah-olah mereka terkerangkeng dalam jeruji medium mencari kekuasaan. Lalu mereka menjatuhkan tangga masing-masing ke lantai. Tampak bagaikan kelopak-kelopak bunga berguguran.
            Sebagai penutup dari tulisan tersebut membahas tentang budaya di sumatera barat.  Sebagai penutup , eksplorasi  tangga seperti membentuk replica rumah gadang. Dengan latar belakang visual art yang digarap oleh dede pramayoza, para pemain duduk dan berdiri di atas da di bawah rumah gadang. Sarah menuruni tangga dengan eksplorasi-eksplorasi gerak yang dipadu dengan beberapa gerak tari piring tradisi minang. Ia bergerak kedepan di atas dua buah tangga yang direbahkan memanjang kearah depan. Sementara di tengah tangga itu terletak sebuah carano sebagai symbol ketulusan hati dan pendamai dalam berbagai kegiatan adat minangkabau. Carano yang biasanya diisi dengan daun sirih dan buah pinang, kali ini diganti dengan ratusan permen, diangkat oleh sarah dan dibagi-bagikannya kepada para penonton.ini benar-benar sebuah symbol tergerusnya budaya oleh berbagai kepentingan (terutama politik ).
            Karya yang berdurasi sekita 55 menit ini, sejatinya memiliki etika konvensional. Seperti ungkapan “bajanjang naiak batanggo turun”. Segala sesuatunya sudah aturan dan tata caranya. Akan tetapi benturan muncul ketika situasi kekinian tidak lagi tertampung dalam koridor adat. Bagaimanapun katil dan kawan-kawan telah menyajikan sebuah penawaran sajian teater kolaborasi yang berimbang. Begitulah bunyi tulisan akhir dari kritik terhadap pertunjukan tangga yang di muat dalam majalah gong.
            Contoh tulisan kritik tentang seni perfilman , “uang naik” karya( sutradara ulfiani). Dalam tulisan ini dapat ditangkap bahwa film ini menceeritakan suatu kisah nyata yang dialami oleh seorang pemuda bernama ryo yang ingin melangsungkan pernikahan dengan wanita yang sebenarnya sudah menjadi pacarnya selama dua tahun. Akan tetapi keinginan untuk menikah itu, harus melalui suatu tradisi yang sangat kental dalam masyrakat bugis-makassar yaitu tradisi “uang naik” uang naik disepakati jumlah nominalnya dan dibayarkan sebelum akad nikah dilangsungkan.
            Didalam kisah tersebut diceritakan bahwa nominal yang diminta oleh orang tua perempuan adalah Rp. 40 juta sedangkan Ryo hanya sanggup membayar Rp. 35 juta. Setelah diadakan tawar menawar dan orang tua dari si perempuan tetap pada pendiriannya, akhirnya Ryo membatalkan pernikahan dengan kekasihnya tersebut dan berniat untuk pergi merantau mencari gadis lain. meskipun demikian, dalam film ini tidak dimunculkan kekecewaan bathin yang dialami oleh gadis, tidak jadi menikah dengan Ryo. Boleh jadi, kekuatan konvensi hukum adat telah mengalahkan perasaan, memori indah yang pernah dialaminya bersama Ryo, sehingga tidak keinginan dari sutradara untuk mengangkat sisi lain dari si wanita. Padahal bagian awal dari film ini, sutradara mencoba mencuplik beberapa pendapat wanita yang belum menikah mengenai uang naik. Ada secara gambling mengatakan jumlah uang naiknya, namun ada pula yang secara satire yang menyampaikan bahwa sebagai perempuan agaknya ia seperti dihargai  dengan sejumlah uang yang ditetapkan. Mengapa hanya gara-gara uang naik, jalinan cinta yang telah dibina sejak lama justru kandas karena adat dan tradisi.
            Sayang, film ini terasa seperti sebuah realitas yang sangat personal sekali. Seakan-akan ini kisah dari pribadi-priabadi para pemuda Makassar. Padahal ini sudah menjadi permasalahn bersama bagi semua laki-laki yang akan melakukan perkawinan. Tradisi yang telah menjadi adat, dan menjadi konvensi yang harus dipatuhi oleh setiap laki-laki. Sutradara tidak mencoba mengkaitkan dengan latar budaya perkawinan yang ada di Makassar sebagai pilihan visualnya yang otentik. Justru ditampilkan adalah setting dengan lokasi alam yang secara tidak langsung tidak mendukung pada aspek budaya yang sedang digarap menjadi film.
            Sementara dari aspek pengambilan gambar, ketajaman atau kualitas gambar, penataan gambar, dan daya tarik (seni) sebagai sebuah karya film, tampaknya masih memiliki beberapa kelemahan. Ini bukan berarti pula bahwa film documenter itu, harus selalu memiliki sentuhan estetik, seperti layaknya film-film fiksi.
            Riset tehadap aktivitas yang berkaitan dengan uang naik sejak dari awal hingga mencapai kesepakatan yang dilanjjutkan dengan pernikahan, masih perlu dilakukan lagi oleh sutradara secara cermat. Yang paling penting sebagaimana dikatakan ayawaila adalah penafsiran kreatif terhadap perisitwa uang naik yang berkaitan dengan perkawinan. Dengan demikian, realitas dalam mewujudkan uang naik sebagai salah satu persyaratan perkawinan dalam budaya Makassar, dapat terangkat dengan baik.  
            Uang naik sebagai selah satu persyaratan pernikahan di makasar masih berlaku hingga sekarang. Jumlah nominal besarnya uang naik sering menghambat pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Meskipun mereka telah menjalin asmara sebelumnya. Tinggi atau mahalnya uang naik, memberikan dampak buruk terhadap pergaulan muda-mudi di sana, tak jarang terjadi kawin lari, hamil sebelum nikah yang akhirnya memaksa orang tua perempuan menyetujui pernikahan.
            Sampai saat ini sumatera barat tidak terhitung sebagai provinsi yang mendukung produksi film. Sebagaimana kita lihat segala hal yang berhubungan dengan film, baik sutradara, cameramen dan sebagainya masih didominasi oleh Jakarta. Bila dilihat dari segi peluang bisnis, sumbar sama sekali tidak termasuk kedalam suatu tempat hyang menjanjikan finansial, malah yang terjadi sebaliknya, jika film dilakukan di sumbar maka yang terjadi adalah mendapat kerugian yang berlipat ganda. Dari segi alat pun juga tidak tersedia di sini.
            Bagi para filmis, aktris tentu beranggap bahwa jika menggarap sebuah film di sumbar tentu akan sangat sia-sia. Idealism mereka tentu adalah menjadi terkenal dan kaya raya, oleh karena itulah banyak yang pergi merantau ke Jakarta. Akan tetapi walaupun sumatera barat bukan merupakan daerah yang menggerakkan perfilman namun dari daerah ini banyak terlahir tokoh-tokoh perfilman yang disegani di indonesia, seperti Usma ismail, Djamaludin malik, Asrul sani, dan tentunya generasi-generasi di bawahnya yang tidak terhitung jumlahnya.
            Perkembangan teknologiu di bidang alat rekam semakin membuat insan perfilamn di sumatera barat untuk berkarya, dengan modal yang sedikitpun sekarang sudah dapat membuat sebuah film pendek. Motivasi dan antusias ini muncul dari kalangan seniman yang mengecap pendidikan sinematografi, dan hanay sekedar mengikuti ide gila serta kemauan kuat, untuk membuat film. Antusias ini paling tidak telah mereka tunjukkan melalui karya-karya film pendek dan documenter, walaupun dalam skala dan standar yang masih minim, dibandingkan dengan karya film layar lebar.
            Di luar perorangan muncul beberapa komunitas film di sumatera barat, baik darp padang, bukittinggi dan kota lainnya maupun di perguruan tinggi seperti UNP padang, Unand, Universitas bung hatta dan ISI padang panjang.  Ada banyak sekali macam film yang dapat di buat seperti dokumenrasi, documenter, etnofilm, antropologi visual, film pendek.
            Dokumentasi audio visual pada dasarnya tidak memerlukan scenario sebagai panduan atau acuan untuk merekam gambar. Oleh karena kerja dokumentasi lebih difokuskan pada perekaman sebuah peristiwa yang ada, yang lebih penting dari kerja ini, bagaimana moment atau peristiwa penting dan dianggap penting terekam dengan baik. Untuk mendokumentasikan sebuah ritual atau alek nagari, yang amat diperlukan adalah bagaimana moment penting terekam dengan baik, karena moment itu tidak dapat diulang.
            Film documenter memerlukan scenario sebagai pedoman atau acuan bagi sutradara dan cameramen dalam mengambil gambar. Apa yang menjadi focus karya dalam scenario sudah tergambar. Dari hasil survey disusun scenario dan apa yang menjadi focus dalam karya. Karya film documenter sudah harus memperhitungkan aspek estetik, teknik, dan kualitas. Setiap karya film documenter dapat saja menjadi dokumentasi.
            Etnofilm merupakan karya-karya yang biasanya menghadirkan atau mengangkat sisi-sisi kehidupan dari suatu suku atau etnik, dan biasanya tim yang membuat film ini membaur dalam masyarakat untuk memahami lebih dalam nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Karya fil seperti ini lebih memfokuskan pada citraan etniknya.
            Antropologi visual merupakan film yang mengangkat tentang aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh sekelompok atau komunitas masyarakat tertentu. Sedangkan film pendek adalah film yang memiliki durasi pendek akan tetapi di dalamnya tetap terdapat apa yang ingin di sampaikan oleh sutradara, sedangkan dari aspek teknis diperlukan kepandaian khusus untuk mengedit gambar-gmbar.
            Contoh dari kritik terhadap seni rupa adalah kande warisan budaya aceh yang terlupakan: sebagai inspirasi penciptaan seni. Di awal tulisan dituliskan pengenalan terhadap kande itu sendiri. Kande adalah lampu minyak yang biasanya digunakan untuk menerangi rumah-rumah adat di daerah aceh, meunasah, masjid dan rumah penganten saat perkawinan. Bahkan fungsinya yang paling penting pada masa lampau adalah untuk menunggu tamu-tamu kerajaan.
            Setelah pengenalan terhadap kande, lalu tulisan selanjutnya menggambarkan ironi yang dialami oleh kande itu sendiri: Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman, dan kemajuan teknologi, sejak listrik masuk ke pelosok-pelosok kampung, kande mulai ditinggalkan orang. Bahkan yang lebih menyedihkan, kande tidak dilirik lagi sebagai media penerangan yang amat berjasa pada masa lampau. Orang sudah beralih menggunakan listrik, yang sinarnya lebih terang benderang. Akhirnya kande di jadikan barang antik.
            Setelah itu tulisan ini menghadirkan pengenalan terhadap seniman pembuat karya tersebut juga termasuk membeberkan konsep yang digunakan oleh pengkarya. “Adalah mahruzal anak muda aceh yang kuliah di jurusan seni kriya STSI Padang panjang, melirik kande sebagai sumber inpirasi penciptaan karya di bidang karya kayu. Bahkan kande dijadikan sebagai konsep dasar “local intens” dari situ ia dapat membuat beberapa karya seni dari bahan kayu nangka dan pokat.
            Tulisan ini juga menghadirkan beberapa persamaan dan perbedaan konsep yang dimiliki oleh semua karya mahruzal. “masing- masing itu memiliki dimensi yang berbeda dari aspek bentuk, teknik pengolahan (ukir) dan teksturnya. Tetapi ciri kuat motif yang terdapat pada kande tetap dihadirkan, yaitu motif pilin ganda atau motif pucoek pakoe, kemudia dibubuhi tujuh sumbu dari plat logam aceh. Karyanya yang berjudul kecemasan itu diwujudkan dengan bentuk putaran ( lingkaran) dari kecil hingga besar, dengan tekstur berjenjang, sepeerti rumah keong. Guratan pusaran itu, seperti guratan batin mahruzal. Karya ini dilengkapi dengan lima sumbu dari plat. Media yang digunakan adalah kayu pokat. Untuk pewarnaannya digunakan semir hitam dan coklat.
            Di akhir tulisan disebutkan keprihatinan pengkarya terhadap budaya yang ada di daerahnya. “ apa yang telah dilakukan mahruzal melalui karya-karya yang telah dia buat sedikit-banyak telah menampakkan keprihatinan seorang muda aceh terhadap kehilangan salah satu budaya masa lalu. Ini dapat menjadi cemeti bagi seniman muda lainnya, bahwa kekayaan budaya masa lalu ( seni tradisi), dapat menjadi sumber inspirasi penciptaan karya seni baru.