Pada malam itu tanggal 25 april 2014, desa Padang Lawas, kecamatan mungka,
kabupaten lima puluh kota menggelar alek nagari yang berupa pertunjukan Seni Rakyat Minangkabau. Alek
dilaksanakan di Gedung kantor camat Mungka. Dihadirkanlah Randai Intan Korong
sebagai awal dari sajian pada alek tersebut. Didatangkan dari nagari Batu galeh
kecamatan mungka kabupaten lima puluh kota yang diketuai oleh amin datuak
bagindo. Dihadiri oleh para penonton yang ramai, terdiri dari anak-anak,
remaja, orang tua, beserta masyarakat setempat yang ikut menyaksikan dan para
undangan yang terhormat yang menduduki karpet biru dibagian tengah tempat duduk
penonton. Bangku tempat duduk penonton terlihat penuh bahkan ada juga yang
menduduki karpet merah di kedua sisi gedung sebagai tempat duduk lesehan, yang
sepertinya sengaja dibentang agar dapat terasa suasana kerakyatan dalam arena yang
diharapkan menyatu antara pemain dan penontonnya. Malam yang tidak begitu
sempurna, karna sempat terjadi pemadaman listrik sehingga sedikit mengganggu
jalannya pertunjukan. Dan sebagai sajian pembuka yang sempat disinari oleh
senter telepon genggam dan senter milik masyarakat, Randai Intan Korong terus
berjalan selama lebih kurang tiga jam.
Randai Intan Korong mengangkat
cerita tentang kisah Nang Kodo Baha dan Anggun Nan Tongga yang bertaruh dalam
permainan teka-teki. Taruhannya adalah dandang dengan segala isinya. Dan yang
memenangkan pertaruhan itu adalah Anggun Nan Tongga. Akhirnya dandang milik
Nang Kodo Baha menjadi milik Anggun Nan Tongga. Kemudian dari dandang
tersebutlah pertemuan terjadi dengan perempuan bernama Intan Korong. Dengan panggung
yang cukup lapang, para pemain randai membentuk lingkaran, dan dibelakangnya
beberapa kursi telah diduduki para pedendang dan tokoh, lalu diatas meja-meja
rendah yang dijajarkan memanjang para pemain musik pun berkumpul. Para tokoh
inti bernama Aril ihsani yang memerankan Anggun Nan Tongga, kemudian Rika yang
memerankan Intan Korong dan Rismanto
yang memerankan Nang Kodo Baha.
Dendang yang dilagukan dengan
variasi dangdut dan tepukan telapak tangan dengan paha dan pinggul yang
disajikan dimalam itu, seolah telah menghidupkan semangat para penonton untuk
lebih berantusias, siutan dan tepuk tangan heboh para penonton lahir saat itu. Bahkan
saat gerakan silat dimainkan tanpa rampak, kejadian itu pun menghasilkan tepuk
tangan penonton yang bukan mencemeh tetapi seolah sebagai dorongan semangat. Suasana
yang terasa pada malam itu adalah tawa, hasil dari gaya lelucon yang lahir dari spontanitas
beberapa pemain, cara dia bergoyang yang menggeol-geol dan pembawaan mimiknya
saat itu terasa menghibur sebagai sebuah banyolan. Suasana tradisi yang
dihadirkan pada malam itu pun sudah terasa, apalagi setelah melihat salah satu
pemain gelombang telah lanjut usia. Bapak Tua itu terlihat sangat
berkonsentrasi dalam permainannya.
Pertunjukan Randai biasanya
dilakukan di alam terbuka, para penontonnya konon dapat bertahan hingga selesai
namun malam itu, kenyataannya para pemain yang awalnya telah berhasil menghibur
penonton dengan tepuk galembong, dendang bervariasi dangdut dan goyang
pinggulnya serta banyolannya, tidak mampu membuat semua penonton yang awalnya
ramai itu dapat terus bertahan menyaksikan pertunjukan mereka. Penonton yang
terbilang ramai itu hanya bertahan kira-kira selama satu jam saja, setelah itu
semakin waktu berjalan, penonton semakin sepi hingga dapat dihitung dengan
beberapa jari, bahkan yang tinggal saat itu terlihat sudah menahan kantuk dan
suntuk. Dahulu entah kenapa orang-orang dapat bertahan menonton randai hingga
subuh, yang jelas yang terlihat dimalam itu adalah kemonotonan. Hiburan yang
hadir hanya dapat dirasakan diawal pertunjukan, setelah memasuki tengah pertunjukan
hanya terjadi pengulangan-pengulangan dan banyolan-banyolan yang terasa basi
atau tidak kejutan lagi. Sebagai penonton, bapak
mul ( mantan walijorong Padang lawas ) pun sempat mengatakan bahwa ia akan
dapat bertahan menonton randai paling lama satu jam. Rini ( Seorang bidan di sana ) dikesempatan lain mengatakan bahwa “kalau
kakak memang tidak tahan berlama-lama, karna gerakan yang dilakukan pun itu ke
itu saja ya “ dengan kata lain ia mengatakan bahwa sajian randainya terasa
monoton.
Bicara tentang laku dramatik pada
pertunjukan Randai Intan Korong sebagai teater tradisional, memang sangat
terlihat pada malam itu bahwa emosi yang dibawakan para tokoh tidak dapat
dirasakan. Dialog yang lahir adalah tanpa mimik atau ekspresi yang kuat, jauh
dari ajaran Stanislavski bahwa ketika
bermain teater maka pemain adalah to be
atau menjadi. A. Kasim Achmad dalam Mengenal
Teater Tradisional Di Indonesia
menyatakan “ Dalam teater tradisional pemain tidak dipersiapkan untuk
menghayati, menjiwai, mendalami serta menghidupkan peran yang dibawakan. Pemain
teater tradisional hanya sekedar memainkan peran dengan menirukan tokoh dengan
perwatakan yang stereotlpe, yakni watak hitam-putih
“ ( Kasim Achmad, 2006 ; 20 ). Kutipan tersebut seolah menyatakan bahwa para
tokoh yang bermain pada pertunjukan pada malam itu tidak dapat disalahkan atas
tidak adanya mimik yang baik pada pemeranannya. Namun mungkin, salah satu sebab
tidak bertahannya para penonton selain kemonotonan gerak dan gaya banyolan, juga karna kedataran para
pemain dalam memainkan perannya sehingga permainannya dirasa hambar. Seiring
perkembangan zaman yang saat ini telah semarak dengan hadirnya teater modern
yang laku dramatiknya kuat, maka mungkin demi tetap bertahannya keberadaan
teater tradisional seperti randai ini, maka mungkin memang sangat diperlukan
sedikit perubahan tanpa mengurangi unsur tradisi yang telah ada sebelumnya,
seperti lebih kreatif dalam gerak, dan dialog mulai menggunakan lakuan dramatik
yang di dalami. Sehingga tidak seolah sekedar penyambung permainan saja tetapi
juga sebagai paket dari sajian yang menarik.
Dalam bentuk performance kelompok Randai Intan Korong ini tampil dengan baju dan
celana galembong yang beragam warna, ini mungkin tidak menjadi sebuah masalah
namun, para tokoh perempuan mengenakan pakaiannya terkesan sebagai syarat saja.
Dengan kepala memakai tengkuluk tanduk kreasi, si tokoh membiarkan rambutnya
tergerai dan tanpa malu memperlihatkan peniti besar yang terlihat jelas di
pakaiaanya. Hal ini sedikit menganggu mata penonton sebagai penikmat seluruh
paket pertunjukan. Seolah menggambarkan bahwa para pemain tidak memperhitungkan
keindahan pada performance mereka.
Ini mungkin dapat digolongkan pula dalam sebab akibat dari tidak bertahannya
penonton pada malam itu. Alasan karna lamanya pertunjukan tidak mampu
menjawabnya, Dahulu saja seperti telah ditulis di atas pertunjukan randai dan
penontonnya dapat bertahan hingga subuh, dan seiring perkembangan zaman, terkesan
bahwa randai hampir ditinggalkan penontonnya.
Selama hampir tiga jam dengan istirahat
kira-kira sepuluh menit, kelompok randai ini menunjukkan kebolehannya. Pemimpin
lingkaran memberi kode yang sebelumnya telah disepakati untuk berhenti sejenak.
Maka yang terjadi di atas panggung pada pertengahan cerita adalah pemandangan
aktifitas para pemain saat istirahat. Menjulurkan kedua kaki, mengelap
keringat, mengatur pernafasan, minum dan pergi kebelakang panggung. Tepuk
tangan penonnton pun lenyap seiring semakin hilangnya penonton yang bertahan.
Kemudian sepuluh menit selanjutnya pemimpin lingkaran memberikan kode bahwa
permainan dilanjutkan kembali, maka cerita dimulai lagi dengan penonton yang bisa
dihitung dengan jari dan selebihnya adalah panitia yang tidak banyak.